"Kapan kalian akan menikah?"
Thomas dan Elena terkesiap. Keduanya saling berpandangan.
Soraya tersenyum bijaksana. Disentuhnya tangan Thomas dan berkata lirih, "Berjanjilah untuk menjaga anak Tante baik-baik, Thomas. Dia harta milik Tante yang paling berharga...."
Thomas merasa terharu. Diciuminya punggung telapak tangan wanita tua itu bertubi-tubi. Kedua matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Tante. Thomas tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan Tante."
Elena bangkit berdiri dari kursinya dan memeluk mamanya erat-erat. Air matanya jatuh bercucuran. "Terima kasih, Ma."
"Mama minta maaf sudah membuatmu menderita selama ini, Nak. Mama materialistis, serakah, dan tinggi hati. Stroke ini merupakan teguran dari Tuhan agar Mama belajar melihat segala sesuatu dengan cara yang berbeda. Mama melihat aura kebahagiaan terpancar dari dalam dirimu setiap kali berkumpul bersama Thomas, Ella, dan Elly. Aura yang sudah lama sekali tidak Mama lihat. Aura yang dulu muncul ketika Papa masih hidup dan berada di tengah-tengah kita...."
Kini giliran Soraya yang berlinang air mata. Ia terkenang akan mendiang suaminya, ayah dari anak-anaknya.
"Menikahlah dengan cara kalian sendiri. Mama setuju saja. Yang penting rumah tangga kalian langgeng dan bahagia."
"Menikah itu apa, Oma? Kenapa Papa dan Tante Elena disuruh menikah?"
Semua orang dewasa di ruangan itu tergelak mendengar pertanyaan lugu Elly. Bocah kenes itu memalingkan wajahnya ke arah Ella, kakak kembarnya.
"Kamu tahu menikah itu apa, Ella?"