Seperti pernah terjadi, sebelumnya. Saat menggunakan jasa kantor pos. Surat Kilat Khusus, yang dikirim tanpa ditempeli perangko. Cukup dipalu pakai cap kantor pos. Bunyinya "Tek-dok, tek-dok, tek-dok, ..."
Pak Pos yang biasa datang mengantarkannya, naik sepeda motor bermerk dengan kode huruf A, tewas tertabrak sedan yang remnya tiba-tiba blong.
Beritanya muncul dikoran lokal. Aku kehilangan sapaan ramah dari Pak Pos yang riang itu. Selain kiriman dari ayahku raib, mungkin terikut amplop-amplop yang terserak dan beterbangan.
Kehabisan uang, aku terpaksa malu-malu pun, ngutang di warung. Makan pagi dan makan malam, dicatat dibuku panjang. Sama dengan buku panjang, catatan tanda terima surat kilat khusus, yang dibawa pak pos itu.
Musibahnya itu, ternyata jadi musibah juga untuk-ku dan dua temanku. Uang kiriman jatah hidup kami tidak datang. Amplop kabinet itu, entah kemana pergi terbangnya.
Ayah-ku terpaksa mengirim lagi. Kali ini tidak pakai jasa Kilat Khusus. Tetapi pakai Tiki-JNE. Sampai aku selesai kuliah dan kerja.
Namun, disaat-saat terakhir, nama jasa kurir itu tinggal "JNE" saja. Kata "Tiki" -nya, hilang.
***
Saat aku mulai terima gaji, aku amat gembira. Bisa mengirimi uang kepada ibu-ku. Aku gunakan ekpedisi yang sudah bertahun, jadi langganan ayahku.
Kukirim uang kontan itu lewat JNE. Sama dengan ayahku, kumasukan kedalam amplop kabinet.
Money Remittance