Mohon tunggu...
Sultoni
Sultoni Mohon Tunggu... Freelancer - Pengamat Politik dan Kebijakan Publik AMATIRAN yang Suka Bola dan Traveling

Penulis lepas yang memiliki ketertarikan pada isu-isu sosial politik, kebijakan publik, bola dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Identitas: Cara Culas Mendulang Elektabilitas

5 Oktober 2022   22:10 Diperbarui: 6 Oktober 2022   00:23 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : eposdigi.com

Karna hanya ada dua pasang calon, masyarakat praktis terbelah kedalam dua kubu yang saling berhadap-hadapan.

Dikotomi politik yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 membuat simpatisan kedua kubu saling 'sikut' demi mendukung jagoanya masing-masing.

Akibat hanya ada dua pilihan calon, terjadi gesekan sedikit saja antar pendukung bisa melahirkan perselisihan yang tak berkesudahan, bahkan ketika ajang pilkada atau pilpres itu sendiri telah usai.

Seyogyanya memang, dalam setiap gelaran Pilkada atau Pilpres calon yang bertarung harus lebih dari dua pasangan calon.

Selain untuk mengurangi potensi terjadinya polarisasi politik, calon yang lebih dari dua pasang juga akan membuat masyarakat memiliki alternatif pilihan yang lebih banyak.

Kedua, rendahnya kesadaran politik masyarakat.

Perbedaan pilihan politik warga Negara Indonesia adalah sesuatu hal yang telah dijamin kebebasannya dalam Undang-Undang Dasar 1945. Itulah sebabnya, jargon pemilu dinegara kita  adalah bebas, rahasia, jurur dan adil.

Namun terkadang, akibat kesadaran politik masyarakat kita yang masih rendah, mereka akan menganggap bahwa orang yang tidak sehaluan politik dengannya adalah musuh.

Bukan hanya musuh dalam konteks politik, terkadang permusuhan merambat kedalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Selain itu rendahnya kesadaran politik masyarakat ini  rawan menimbulkan kerentanan sosial jika dibumbui dengan isu-isu berbau SARA dan politik identitas.

Ketiga, rendahnya tingkat literasi masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun