Karna hanya ada dua pasang calon, masyarakat praktis terbelah kedalam dua kubu yang saling berhadap-hadapan.
Dikotomi politik yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 membuat simpatisan kedua kubu saling 'sikut' demi mendukung jagoanya masing-masing.
Akibat hanya ada dua pilihan calon, terjadi gesekan sedikit saja antar pendukung bisa melahirkan perselisihan yang tak berkesudahan, bahkan ketika ajang pilkada atau pilpres itu sendiri telah usai.
Seyogyanya memang, dalam setiap gelaran Pilkada atau Pilpres calon yang bertarung harus lebih dari dua pasangan calon.
Selain untuk mengurangi potensi terjadinya polarisasi politik, calon yang lebih dari dua pasang juga akan membuat masyarakat memiliki alternatif pilihan yang lebih banyak.
Kedua, rendahnya kesadaran politik masyarakat.
Perbedaan pilihan politik warga Negara Indonesia adalah sesuatu hal yang telah dijamin kebebasannya dalam Undang-Undang Dasar 1945. Itulah sebabnya, jargon pemilu dinegara kita  adalah bebas, rahasia, jurur dan adil.
Namun terkadang, akibat kesadaran politik masyarakat kita yang masih rendah, mereka akan menganggap bahwa orang yang tidak sehaluan politik dengannya adalah musuh.
Bukan hanya musuh dalam konteks politik, terkadang permusuhan merambat kedalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Selain itu rendahnya kesadaran politik masyarakat ini  rawan menimbulkan kerentanan sosial jika dibumbui dengan isu-isu berbau SARA dan politik identitas.
Ketiga, rendahnya tingkat literasi masyarakat.