Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama FEATURED

Tsunami Aceh dan Radio: Memulihkan Luka dari Udara

1 September 2016   22:28 Diperbarui: 25 Desember 2018   15:24 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
TR Iskandar (Apon) salah satu aktivis yang terlibat aktif di dunia radio Aceh pascatsunami 2004 (Gbr: Istimewa)

Kesulitan informasi dan terputusnya saluran komunikasi hingga listrik, menjadi bagian cerita tak terlupakan bagi saya sebagai salah seorang  masyarakat Aceh, yang merasakan gempa dan tsunami pada 2004 silam. Di sinilah, keberadaan radio menjadi catatan tersendiri, tak hanya dalam memori saya, tapi bagi umumnya masyarakat Aceh kala itu.

Lewat radiolah, berbagai perkembangan yang terjadi setelah tragedi tsunami itu dapat kami ikuti. Kami kerap beramai-ramai berkumpul hanya untuk mendengarkan radio, dengan tenaga dari mesin genset yang biasanya hanya bertahan empat hingga enam jam.

Dari sanalah kami lumayan terbantu, untuk lebih tenang, tak gampang panik, dan lebih antisipatif di tengah berbagai isu yang sempat muncul entah dari mana.

Maklum, efek dari tragedi yang konon terparah di Indonesia sepanjang 100 tahun terakhir itu, kami yang selamat dari petaka itu tak hanya membutuhkan sekadar makanan. Informasi pun terasa tak kalah penting dari tuntutan memenuhi kebutuhan perut. Di sinilah, lagi-lagi, radio menunjukkan peranannya.

Kantor Berita Radio 68H Jakarta, saya kira menjadi salah satu pihak paling diingat oleh masyarakat Aceh kala itu. Lewat merekalah, akses masyarakat atas berbagai informasi mulai menggeliat. Tak terkecuali Pengurus Pusat Muhammadiyah, tak ketinggalan peranan, membuka keran informasi, terutama kepada korban langsung yang harus berdiam di berbagai lokasi pengungsian.

Terutama di Banda Aceh, lewat andil PP Muhammadiyah dengan KBR 68H sempat eksis berbagai radio komunitas bernama Suara Muhammadiyah. Sedangkan di Pantai Barat, terutama Meulaboh hingga Nagan Raya, terbantu dengan Swara Meulaboh di saluran FM.

Keberadaan radio itu tak lepas dari peranan Japan Social Development Fund lewat salah satu lembaga domestik, hingga lahir AERnet.

Mereka bekerja tak hanya untuk Meulaboh dan sekitarnya, tentu saja. Sebab juga tercatat, mereka pun merambah ke Sinabang lewat radio Suara Sinabang  hingga Aceh Besar, Seha FM. Tak terkecuali Aceh Utara, yang juga menjadi salah satu kawasan yang terkena tsunami, memiliki satu stasiun radio komunitas di kawasan Geudong.

Siapa yang menjalankan radio tersebut? Tak ditampik, sebagian memang diaktifkan oleh sekelompok aktivis yang bergantian melakukan berbagai program. Tak sedikit juga, dari para pengungsi sendiri, yang berinisiatif melakukan berbagai acara dan disiarkan lewat radio itu.

Tak melulu berisi berita, yang sebagian dipancarkan KBR 68H, tapi juga terdapat berbagai program yang lebih berbau lokal. Termasuk di antaranya, drama ala Aceh yang kental dengan aktivitas meupantoen alias berpantun yang memang kental dengan tradisi Aceh, pun tak lepas dari sebagian radio-radio tersebut.

Masyarakat yang sebagian menghuni barak pengungsian selama bertahun-tahun, tak hanya mendapatkan berbagai informasi dari radio itu, tapi juga lewat berbagai program yang digagas, pun berdampak pada trauma healing dengan langkah-langkah yang kental aroma lokal (dari penggunaan bahasa lokal, hingga pelibatan kalangan pengungsi sendiri).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun