Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Surat Tuhan yang Tak Terbaca

10 Januari 2010   20:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:32 2000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_51833" align="alignleft" width="260" caption="Catatan tentang semua itu, tuliskan saja di hati (Gbr: CM)"][/caption] Iya, inilah yang telah tertulis. Semua yang baik maupun yang buruk telah tercatat, tidak hanya di buku atau di lembar-lembar koran, tetapi bahkan di hati. Apa yang sudah tertulis sama sekali tidak untuk dibaca, demikian ujar beberapa orang yang tak kukenal.  Terus, mereka mengatakan, bahwa telah lama disepakati, semua yang ternah tertulis dan terpahat selanjutnya hanya untuk membuat ruang-ruang museum tidak kosong saja. Tidak ada untuk sesuatu apapun selain itu. Entah mungkin aku yang terlalu lugu untuk memahami sebuah kalimat, sehingga pertanyaanku melebihi seribu kalimat. Namun, semua yang terjadi tidak selalu berpijak pada tanya. Tidak mesti harus sesuai dengan pertanyaan. Atas, kenapa yang telah tertulis tidak semuanya terbaca. Sehingga berjuta ketololan masa lalu yang pernah berada dalam catatan sejarah harus lagi dan lagi terulangi. Sedangkan saat memilih untuk melangkahkan kaki ke mesjid-mesjid dengan harap beroleh jawab, sebagian mereka malah mencibir, "engkau sedang mencari tempat untuk pelarian. Karena engkau tidak bisa menajdi bagian dari para pencari jawaban, atas semua persoalan manusia." Entah mungkin memang akupun menjadi bagian yang tertular dengan kebodohan, sehingga untuk beberapa saat ikut terpengaruh dengan pandangan yang menyebut agama sebagai jalan untuk pelarian saja. "Jangan mencari pembenaran dengan mengatakan ketololan sebagai penyakit yang menular dari luar dirimu." Begitu coba kukatakan pada diri sendiri pada banyak ketika. Tersenyum malu-malu, akupun kemudian menulis puisi-puisi tentang ketololan diri sendiri. Tidak selamanya memang, mengarahkan pandangan tentang penyebab dan asal ketololan dari luar diri sendiri. Selanjutnya itu menjadi pilihan. Efek yang terjadi, pelan aku pernah teralienasi. Terkesampingkan dari semua proses perguliran waktu dan perjalanan sejarah karena jelas belum pernah memberikan kontribusi apapun, selain merasa cukup puas hanya dengan menjadi seorang pemirsa. Persis seperti bocah kecil yang melihat sinetron yang mempertontonkan konflik rumah tangga. Mata kecilnya hanya menatap, tetapi belum bisa menjangkau, kenapa perselisihan masih bisa terjadi, sedangkan sepasang suami istri telah menghabiskan jutaan detik dalam persetubuhan. Sebuah jalan spiritual di atas ranjang yang seyogyanya menjadi sebuah medium penyatuan jiwa untuk lebih welas asih, berisi komunikasi jiwa yang tak membutuhkan kata-kata, tetapi cinta yang tak lagi membutuhkan definisi. Lalu, beberapa orang yang memiliki kemiripan dalam ketololan juga selanjutnya memilih untuk menyalahkan selalu yang berada di luar diri mereka. Terkadang negara menjadi sasaran caci maki. Tak jarang penguasa diperlihatkan pada orang-orang sebagai titisan para kanibal. Sedangkan yang terus saja meraja, hanya kegelisahan dan ketakutan yang tidak mendasar. Ternyata, ketakutan tanpa disadari telah bertempat di kursi para raja. Sehingga kenapa begitu banyak manusia menjadi abdi yang telanjang saja tanpa seurat malu. Iya di depan ketakutannya sendiri. Dan ketakutannya pada diri sendiri. Selanjutnya, aku sendiri mencoba berbisik pada bantal yang kugumuli malam ini,"menerima yang terjadi tidak berarti kekalahan. Membiarkan diri bersabar untuk mengenal semua aturan permainan bukanlah ketololan. Meski dalam proses membaca semua aturan itu membutuhkan waktu, dan menghilangkan ketakutan atas kesempatan menjadi manusia yang mengundang keterpukauan menjadi pilihan. Toh, Tuhan tidak memberikan yang telah ditakdirkan padamu untuk orang lain. Begitu juga Dia takkan memberikan apapun yang ditakdirkan kepada orang lain, untukku."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun