Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Renungan Penumpang Bis: Pengemis di Jakarta dan Sikap Kita

28 Februari 2012   04:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:49 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13304030191866801364

Ilustrasi: MI

Pagi-pagi buta harus berangkat meninggalkan kontrakan kecil di Palmerah, menuju halte busway Slipi Petamburan, ke UKI dan lalu Kelapa Gading. Berdesakan di bis, menghirup udara yang diam-diam sudah membaur dengan asap knalpot sekian ribu kendaraan. Kukira asap-asap itu tak hanya kotori udara kota ini, tapi juga sekian banyak otak. Mungkin pula menjadi penyebab yang hitamkan hati.

Menelusuri sekian halte busway. Di sana, tak pelak akan selalu berhadapan dengan pemandangan adanya pengemis-pengemis tua yang duduk penuh harap atas sekian recehan untuk mengganjal perutnya, dan mungkin untuk anak-anak dan istri mereka.

Tapi demikianlah, orang-orang di kota besar itu memiliki kemampuan mencari alasan yang juga besar. Itu pula sepertinya yang menyebabkan di antara sekian ribu orang berseliweran di depan pengemis, hanya sebagian kecil yang tergerak merogoh kantong dan memberi sebagian isi kantongnya untuk pengemis-pengemis itu. Selebihnya, melirik pun enggan ke arah para pengemis itu.

Sedang alasan tidak memberi sedekah untuk kalangan yang kerap disebut dhuafa itu,"hanya membuat mereka manja, dst dst." Sebuah alasan yang teramat sangat masuk akal. Alasan yang dengan rajin diulang-ulang setiap berhadapan dengan pertanyaan kenapa memilih persetankan kepedulian untuk mereka.

Sedikit lebih berbau "pandangan jauh ke depan", ada pula yang beralasan,"Kalo elu dan gue terus-terusan bantu para pengemis itu, cuma membuat mereka makin betah saja mengemis!" kalimat yang memang diucapkan lengkap dengan tanda seru.

"Kalo gue gak beri mereka, dan elu gak beri mereka,  pasti mereka gak akan minta-minta lagi di pinggir jalan seperti itu. Jakarta bisa bersih dari pengemis!"

Alasan lebih panjang untuk menunjukkan bahwa pilihannya untuk tidak berbagi dengan kalangan yang kebetulan bernasib buruk itu adalah suatu pilihan cerdas.

Sedang di otakku berkelebat renungan kecil saja, soal melakukan sesuatu tidak selalu harus berpatron pada: ini pilihan yang cerdas atau tidak. Sebab, tidak semua orang baik adalah orang-orang cerdas, seperti halnya tidak semua orang cerdas mampu berbuat baik.

Renungan kecil yang tidak saya keluarkan untuk mendebat rekan yang memberi argumen atas pilihan sikapnya itu. Sebab, saya yakin sekali, orang yang sedang mencari-cari alasan lebih butuh banyak waktu untuk terus bicara. Terbukti ia melanjutkan penjelasan dengan,"Elu tau gak, kekayaan mereka itu terkadang jauh lebih banyak dari elu! Mereka punya handphone yang bahkan juga lebih baik dari elu! Apalagi yang harus dibantu?"

Penjelasan yang membingungkan saya, apakah sudah pasti mereka punya kekayaan lebih dari sebuah handphone yang konon lebih mahal dari punya saya itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun