Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kalender

31 Desember 2009   22:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:41 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_46501" align="alignleft" width="222" caption="Jenderal di depan prajurit tempur. Berbicara pelan, apakah kita mendengar instruksinya? Kembali ke masing-masing kita (fickar10)"][/caption] Detik adalah sejarah. Saat beberapa sudut bumi menulis sejarah darah, di beberapa sudut lainnya mencatat sejarah indah. Saat sebagian orang masih menjadi pemabuk bersama cangkir-cangkir keluh kesah. Yang lainnya menatap matahari yang bercahaya cerah dan menjalani hidup dengan penuh gairah. Ini dinamika dan ini bagian dari sebuah perjalanan. Sayang sekali memang, akan banyak juga yang tidak tahu dan tidak merasakan langkah yang ia ayun. Malah yang terasakan kenapa langkahnya semakin gontai sedangkan ia belum temukan apa-apa. Ternyata jalanan kehidupan itu tidak lurus-lurus saja. Ketika kaki terayun begitu saja, yang dihasilkan hanya kelelahan. Dan itu yang paling mungkin terasakan. Demikian kesimpulan obrolan dengan kalender yang tanggal-tanggalnya sering terlupakan. Beberapa orang bijak mengatakan, ketika engkau salah jalan maka tidak sulit untuk keluar dari beban itu, tinggal putar arah. Kenali kembali tujuan yang pernah dituliskan di agenda hati. Yang lebih disayangkan memang pada persoalan agenda tersebut. Kebebalan hati sering mengatakan dengan sangat tidak bijak, agenda dan perencanaan hidup itu hanya untuk orang-orang penting, sedangkan kita sama sekali bukan siapa-siapa. Sesaat kemudian saat kebebalan itu terbiarkan, yang mewujud kemudian tidak lebih dari sesal dan sesal. Konyolnya terkadang mengalamatkan kesalahan dirinya pada Tuhan, sebagai penulis takdir yang tidak cerdas.

***

Ini bukan cerita tentang siapa-siapa, saya kira ini cerita kita semua. Jika ini kekonyolan, maka inilah kekonyolan kita yang mungkin menjadi pilihan--entah secara sadar dan tidak--. Menjadi pilihan kita di masa-masa yang telah terlewati. Beruntung memang mereka yang masih sadar bahwa masih ada matahari sebagai kode Tuhan terhadap waktu. Mereka menghargai waktu dengan konsep pengabdian. Sampai kemudian Tuhan membayarnya dengan penghargaan, terkadang lewat hamba-Nya sesama manusia. Terkadang dengan kelapangan hati atas keberhasilannya dalam menebar kebaikan, meski kantong lebih sering datar saja. Karena persoalan kebahagiaan tidak selamanya terukur dari kantong tebal."Isi kantong biasa-biasa saja tetapi tidak ada orang yang tertipu, tidak ada brankas dan laci yang dibongkar paksa. Tidak ada yang teraniaya, ini lebih membahagiakanku ketimbang kumiliki rumah mewah, harta berlimpah, materi yang tumpah ruah. Kesederhanaan ini jauh lebih indah." Ujar seorang sahabat yang kuyakin sedang tidak bermaksud memberi petuah. Dan saya sendiri mencoba menyimpulkan dengan jujur, kebahagiaan itu bukanlah egoisme, tetapi pada keberanian untuk tidak menjadikan kepentingan diri sendiri sebagai tujuan hidup.

***

Tiba-tiba saja pikiran bebal saya teringat dengan cerita seorang lelaki. Saat ia meminta pada Malaikat [caption id="attachment_46533" align="alignright" width="331" caption="Jika ini perang, jikapun ini neraka. Tetapi inilah hidup, tempat untuk pemenang juga untuk pecundang (fickar10)"][/caption] Kematian,"jika kelak sudah dekat waktuku untuk mati, tolong beri kabar padaku." Malaikat tersebut mengiyakannya. "Baik." Selang beberapa tahun, Malaikat tersebut mendatangi lelaki ini."Waktu kematianmu sudah tiba, saudaraku." "Bagaimana ini bisa terjadi, sedang dulu engkau sudah berjanji untuk memberi kabar terlebih dahulu?" "Benar, dan saya sudah tepati janji itu bukan. Bahkan langsung Tuhan langsung yang memberi kabar itu bukan? LIhatlah seperti apa sudah kulitmu. Rasakan seperti apa sudah penglihatanmu. Berapa ribu kali sudah pergantian siang dan malah terhabiskan olehmu untuk menghirup napas. Dan itu kabar dari Tuhan. Mari ikut denganku"

***

Kalender ternyata memiliki kekuatan menjadi penutur cerita. Sebagian mendengarnya seperti mendengar dongeng pengantar tidur, lalu terlelap sungguh-sungguh. Beberapa lainnya mendengar cerita dari mulut tak berongga kalender ini serupa prajurit tempur yang mendengar petuah jenderal. Sekalipun dituturkan begitu pelan, namun masih bisa menangkap irama ketegasan. Karena petuah tersebut menjadi penentu atas hasil akhir saat keluar dari medan perang tersebut, menjadi pemenang atau harus puas sebagai pecundang. Tulisan Pertama untuk 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun