Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jangan Bilang Makassar Kota Sangar

12 April 2016   23:44 Diperbarui: 13 April 2016   07:18 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pantai Losari. Sumber: Indonesiaexplorer.net"][/caption]Jangan bilang Makassar sebagai tempatnya orang-orang berpembawaan kasar. Inilah yang terbetik di benak saya, sepanjang empat hari berada di kota tersebut, sejak Jumat (8/4) hingga Senin (11/4). Banyak wajah bersahabat saya dapati di sana, dari para sopir taksi hingga tukang ojek.

Ya, cerita saya di kota ini berawal dari pilihan saya menggunakan tenaga tukang ojek yang mencegat saya di pintu kedatangan bandara. Ia menawarkan jasa transportasinya hanya senilai 50 ribu, meski tujuan saya hanya ke Hotel Grand City. 

Kalkulasi saya, jika menggunakan taksi resmi, takkan jauh dari harga itu. Maka, saya pun menerima tawaran tersebut. Memilih berangkat ke hotel tujuan dengan menggunakan ojek.

Ya, ada alasan tersendiri bagi saya memilih ojek. Walaupun jika menggunakan taksi, akan membuat saya tidak harus berkeringat terpapar matahari langsung. Tapi dengan kendaraan roda dua ini, saya berpikir akan bisa menemukan sesuatu yang menjadi roh dari sebuah masyarakat yang terbilang masih asing dengan saya pribadi.

Memang, di Jakarta, tetangga saya pun berasal dari Makassar. Sedangkan di kota ini sendiri, saya pun memiliki beberapa teman di dunia media, termasuk rekan-rekan yang sudah jadi sahabat saya di Kompasiana. 

Tapi, sekali lagi, Kota Makassar sendiri dan masyarakat di dalamnya benar-benar asing. Saya pikir, hanya dengan memilih sesuatu yang akrab dengan masyarakat kelas bawah di satu kota, membantu saya lebih mengenal mereka. Maka itu, ojek pun menjadi kendaraan pertama yang saya naiki.

Ada kesigapan, ketangkasan, dan sikap yang sopan dari pengendara ojek ini. Memunculkan keyakinan saya, mereka tidaklah sekasar yang digambarkan beberapa media, yang kerap menonjolkan berbagai hal anarki dari masyarakat kota ini, tanpa diimbangi dengan mengangkat berbagai hal yang positif dari sana.

Tukang ojek itu, menjadi awal dari keyakinan positif saya atas kota berjulukan "Anging Mamiri" tersebut.

Setelahnya, usai merebahkan diri sejenak di hotel yang berlokasi tak jauh dari Markas Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, Grand City, saya bergegas ke tujuan acara yang  menjadi bagian misi saya ke sini; melakukan liputan untuk koran tempat saya bekerja, untuk kegiatan Audisi Beasiswa Bulutangkis PB Djarum. 

Lagi, saya mengandalkan kendaraan yang saya nilai paling akrab dengan penduduk di kota ini, pete-pete--sebutan untuk angkutan umum di sini.

Sekali lagi, saya mendapati ekspresi bersahabat yang tak dibuat-buat. Walaupun hanya sejenak, dan saya segera ganti transportasi, lantaran sopir pete-pete tersebut tidak tahu lokasi yang sedang saya tuju. Kembali, ojek pun menjadi pilihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun