Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Sudah Kubakar Fotomu, Mutia

18 Februari 2017   23:52 Diperbarui: 19 Februari 2017   11:17 1541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kau bisa membakar foto mantanmu, tapi kau tak dapat membuat kenangan menjadi abu - - Gbr - Phinemo. com

Kau bisa saja membakar foto, tapi kau tak bisa membuat kenangan menjadi abu. Aku merasakan itu, setelah lembar demi lembar foto Mutia yang dulu kekecup-kecup tiap kali dilanda rindu, lewat api kujadikan abu. Hilang, tapi hanya foto, sedangkan kenangan masih saja menari-nari di otakku. 

Saat foto-foto itu kubakar, kupikir api akan membantu membakar pula ingatanku tentangnya. Tapi api itu tak bisa dipercaya.  Sama sekali tak bersahabat, kecuali kenangan yang masih terus bersahabat dengan waktu dan sesekali singgah ke benakku, cuma untuk menertawakanku. 

Kautahu, ditertawakan oleh masa lalu itu lebih menyakitkan daripada kau ditinggalkan kekasih terbaikmu. Jika tak percaya, sesekali pulanglah ke masa lalu lewat tempat piknik yang pernah kaudatangi dengan bekas kekasihmu. Atau,  kalau tidak, kaumakan di tempat-tempat yang pernah kaudatangi dengannya. 

Di sana, kaubisa melihat orang tertawa gembira menikmati keindahan tempat piknik kautuju, tapi kau sendiri akan kesulitan menulis senyum di wajahmu, karena masa lalu justru memaksamu untuk tidak pernah bisa tersenyum apalagi tertawa. 

Begitu juga jika kaudatangi tempat makan yang pernah kausambangi dengannya. Kau mungkin masih bisa memamah makanan di mejamu, tapi kenangan lebih dulu memamahmu. 

Seperti aku saat ini, di depan sebungkus nasi. Tanganku sedang menyentuh nasi di dalamnya, sedang ingatanku sudah masuk ke dalam mulut kenangan. Aku mengunyah nasi, sedang aku sendiri dimamah oleh bayangannya. 

"Kelak, jika jodoh tak ramah kepada niat kita untuk menikah, apakah kau akan tetap ramah kepadaku?"

Aku tak bisa menjawab pertanyaannya sesederhana itu. Saat kuambil pertanyaan itu darinya dan kuberikan lagi kepadanya, dia pun mengaku tak ada kata yang bersedia keluar untuk menjawab itu. 

Akhirnya, begitulah, perpisahan terjadi. "Kaupilih saja jalanmu, dan jangan lihat lagi ke belakang, sebab aku tidak akan bisa terus berjalan jika matamu terus saja tertuju ke arahku," kata Mutia saat itu. 

Kau mungkin akan menghindar dari mantan kekasihmu agar semua lukamu tak membayang lagi. Kau mengetahui mantanmu itu sedang di Kutub Utara, maka kau memilih berjalan ke Kutub Selatan. Kau memang takkan bertemu dengannya, tapi kenangan tetap mempertemukan kalian. Itulah saat ini yang menampar-nampar kepalaku hingga semua kenangan laksana belatung, yang justru membuatku jijik kepada diri sendiri; meninggalkan kekasih yang pernah menulis namaku dengan ketulusannya.*

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun