Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Anatomi Tuhan

7 Juli 2010   17:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:01 1833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_188105" align="alignleft" width="300" caption="Kebenaran hanya bisa didengar oleh telinga yang sudah bersih dari kotoran (Gbr: Google Images)"][/caption] Ah. sepertinya kita lebih banyak dusta daripada jujur. Mengaku bisa segalanya, dan tidak butuh siapa-siapa, tapi diam-diam memaki-Nya. Inilah kepercayaan yang telah dengan sadar kita bungkus dengan kain yang dirajut dari benang-benang kemunafikan. Bukan kita. Baiklah. Karena menyebut kita sama maknanya dengan kusamakan kemunafikanku dengan Anda, sedang Anda mungkin sebenarnya jauh lebih bersih dari saya. Iya, saya. Menapak jalan dengan kaki yang diberikan Tuhan, tetapi belum pernah ada bunga yang tumbuh mekar dengan air yang kusiram dengan sepenuh cinta. Menyentuh sekian banyak ciptaan Tuhan, namun nyaris belum pernah membuat sesuatu, melakukan sesuatu yang membuat Ia tersenyum. Melihat sekian banyak keindahan yang juga diciptakan-Nya, namun lebih sering berpaling dari-Nya. Betapa rendahnya diri ini, seonggok daging yang terus tumbuh tetapi dengan cinta pada-Nya yang lebih sering menurun dari berat badanku. Kemunafikan lain, berharap bisa selalu dekat dengan yang Maha Bersih, namun terus saja tidak lelah bermain lumpur kotor, membaluri seluruh jengkal tubuh yang sudah tidak terpedulikan lagi aromanya, karena hidung sudah penuh debu kemunafikan itu juga lagi. Ah, kebenaran apa yang bisa dikatakan oleh mulut yang lebih banyak memakan kotoran. Tidak, Anda mungkin memang tidak sepertiku, beruntunglah engkau, sahabat. Ketidakberuntungan hanya jika tadi engkau melupakan beberapa dosa dan kekeraskepalaan yang sudah kau lupakan. Dan jangan pusingkan dosamu, bila dosaku lebih menarik perhatian untuk kau tatap. Tetapi pilihan begitu hanya membuatmu mungkin esok pagi akan lebih memiliki tabungan aroma busuk, dengan sekian catatan yang membuat kau dikutuk. Tidak, ah aku malah juga lebih teringat pada dosa yang kau lakukan, daripada yang kulakukan sendiri. Seharusnya dari tadi tidak kucari-cari kesalahanmu, tetapi lebih membuka mata pada kesalahan sendiri. Apalagi, sering diperdengarkan mereka yang lebih bersih bahwa kelak saat menghadap Tuhan untuk membawa dan membaca sekian juta lembar pertanggungjawaban, kita datang sendiri-sendiri. Tanpa arak-arakan. Harusnya memang mataku lebih tertuju pada kesalahanku sendiri, dan lebih baik hanya melihat padamu dengan tujukan kebaikan yang pernah kau pertontonkan padaku.

***

[caption id="attachment_188107" align="alignleft" width="300" caption="Saat keinginan lebih menyukai kegelapan, kegelapan itu akan terus ada meski matahari esok pagi kembali (Gbr: Google Images)"][/caption] Sekarang sudah malam, ya? Gelap. Hening, dan jikapun masih ada suara-suara, lebih banyak suara serangga yang bersenandung dalam kidung yang mungkin tidak bisa kita terjemahkan. Kalaupun dari suara itu sebenarnya makhluk serangga itu sedang menyebut nama Tuhan, mungkin kita bingung atas huruf apa yang dipergunakan mereka sampai tidak ada yang bisa menyinggahi lobang telinga. Luput, kita luput melihat dan meraba, bisa jadi lobang telinga itu pun sudah penuh dengan sekian juta molekul-molekul debu yang menghalangi masuknya aksara. Huruf, yang mungkin adalah rangkaian pesan kebenaran. Kita luput mendengar sampai kebenaran pun kemudian semakin samar-samar. Malam sepertinya lebih memiliki reputasi dalam berperan memilih dan memilah antara manusia bernajis dan yang tidak. Yang pengemis ataukah yang berjiwa seorang raja. Pengemis akan menghabiskan malam dalam peraduan empuk tanpa sempat menghadap pada Sang Maharaja Penguasa Siang Malam. Jika juga ia tepiskan kantuk, bisa jadi hanya dihabiskan untuk lamunkan paha sampai payudara yang dikira mereka jauh lebih indah dari syurga. Sedangkan mereka yang berjiwa raja, pasti memilih untuk menghadap Maharaja bersama doa. Bukan doa yang melulu berisi keinginannya, kawan. Tetapi doa, agar dalam segala kekurangannya, ia masih bisa untuk terus menjadi lebih baik lalu pantas untuk terus berada di dekat-Nya. Dua pilihan demikian terjadi dan dipilah oleh malam. Sebagian memilih untuk membuka matanya dan hilangkan keinginan untuk bermanja dengan kekasihnya, mengusir dingin dengan hangat air mata. Air mata yang kemudian membuat matanya esok pagi bisa lebih terang melihat, bahwa dalam perjalanan siang dan malam, entah bagaimana Tuhan tidak pernah tidur. Ia masih tidak lelah-lelah menjaga dan memberi. Menjaga hamba-Nya yang bahkan lebih banyak kalah dengan diri sendiri. Memberi pada makhluk-Nya, syahdan semua yang kalau dikaji ulang tidak pantas untuk didapatkan. Lihatlah, betapa sepoi angin tidak hanya menyejukkan penyembah-Nya, tetapi itu juga didapat oleh mereka yang bahkan berani keraskan kentut melebihi kemampuan lidahnya suarakan kebenaran-Nya. Lihat juga sekian banyak isi bumi yang dikuras bahkan oleh tangan yang lebih sering meraba yang bukan haknya, dan mereka kaya dan sejahtera dengan itu semua. Cuma, memang harus diakui, orang-orang yang tidak rakus tidak akan mengejar terlalu banyak melebihi dari yang dibutuhkannya. Berbeda dengan beberapa anak manusia yang masih berharap untuk bisa menyuap Malaikat Maut, lalu di otaknya hanya mengkali-kali isi pundi-pundi. Mereka, berbaring di kasur empuk sedang indahnya kantuk tak pernah bisa direguk, kontras. Sebab, ketika pun bisa merasakan kantuk, itupun harus setelah sekian ribu perjalanan waktu didera gelisah.

***

Ini bukan ajakan untuk menjadi malaikat, kawan. Apalagi sekian ribu huruf yang tersusun ini bukanlah huruf nabi yang berdiskusi dengan malaikat dan seribu peri. Tetapi, hanya gurat-gurat gundah lelaki yang meraba hati dan sedang mencoba untuk menggali seberapa dalam segara hati.

Bisa saja kau pungkiri ketika kau ingini. Pilihan itu bisa lebih dari dua, kapan saja berhadapan dengan kebenaran--tanpa bermaksud menyebut diriku sebagai pemilik kebenaran--mendengar atau menuli, mengiyakan atau mengingkari. Semua berpulang kepada diri sendiri.

***

Tetapi, permisi. Semua yang kutulis bukan untuk membuat engkau rendah diri, juga tidak menjadi deklarasi diriku sebagai makhluknya yang berada di tempat terlalu tinggi. Ini, hanya suara dari lelaki yang sedang bermatematika dan menaksir kenapa Tuhan menciptakan kerendahan jauh berbeda dari ukuran tinggi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun