Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aceh dan Mimpi yang Belum Berhenti

20 September 2014   11:20 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:09 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14111612101535101596

[caption id="attachment_360235" align="aligncenter" width="604" caption="Penulis dalam salah satu kegiatan pelatihan untuk anak-anak korban tsunami 2004 di Kecamatan Meureubo, Aceh (Gbr: Zulfikar Akbar)"][/caption]

Berpikir yang benar, adalah berpikir yang kemudian bisa terlahir ke dalam tindakan. Jika tidak, maka takkan ada tindakan yang benar yang bisa dilahirkan. Itu yang kerap terbersit di benak saya setiap berbicara tentang Indonesia. Namun, terkait pertanyaan, apa yang sudah kauberi untuk negerimu? Secara jumlah, memang tidak banyak, tapi dalam sedikitnya yang sudah saya lakukan, yang kerap saya lakukan adalah membicarakan Aceh lewat menulis! Ya, tidak saja karena ini adalah daerah saya, tapi karena ada berbagai masalah serius terjadi di sini.

Kenapa lewat penulisan? Karena saya tidak melihat penulisan itu hanya kegiatan menghilangkan suntuk. Melainkan di sinilah saya bisa mencurahkan apa yang saya pikirkan, dan menulis juga bekerja. Sekalipun dari sisi organ tubuh yang digunakan lewat kegiatan ini, tak lebih dari sepuluh jari yang menari di keyboard netbook. Artinya, dalam kegiatan ini terdapat kerja sama antara pikiran dan tindakan--yang juga menjadi slogan saya pribadi.

Lalu, apa yang sudah saya tuliskan tentang Aceh? Ya, hidden story, atau cerita-cerita yang tak banyak diketahui publik luar Aceh, itulah yang kemudian saya angkat. Itu saya tuangkan ke dalam tulisan-tulisan saya. Terkadang hal itu saya tuangkan lewat media-media di Aceh, dan tak sedikit juga yang saya alirkan di Kompasiana. Bahkan, salah satu tulisan saya tentang Aceh, berisikan cerita bagaimana kearifan lokal masyarakat Simeulue--satu pulau di Aceh--tapi bisa menyelamatkan diri dari musibah tsunami, hanya karena keteguhan memegang tradisi, menjadi juara pertama dalam lomba menulis yang diadakan Kompasiana dan Kemenparekraf.

Sebelum itu, saya juga terpilih menjadi juara harapan ketika mengikuti lomba menulis bertema: Pembangunan Berbasis Gampong. Dalam lomba ini saya mengangkat perjalanan saya ke salah satu kawasan terisolir di Aceh, dan menuangkan ke dalam tulisan.

Hanya lewat lomba sajakah? Tentu saja tidak. Karena lomba-lomba begitu ibarat suplemen yang hanya perlu diikuti sesekali untuk mengevaluasi, sejauh mana tulisan itu punya "daya ledak".

Jauh sebelum saya terjun ke berbagai lomba penulisan, saya lebih dulu mengarahkan mata saya pada masalah-masalah sosial yang ada di daerah saya sendiri, Aceh. Saat masih sekolah, meski tidak memiliki sawah sendiri, saya meminta kepada teman yang memiliki sawah untuk saya bisa membantunya.

Membantu teman-teman di sawah-sawah mereka yang terkadang harus melewati sungai yang deras dan menapaki perbukitan, memang melelahkan. Tapi, inilah yang saya tempuh untuk membentuk diri saya mengenali apa-apa yang terdapat di daerah saya. Selain saya juga diuntungkan karena meski tinggal di tempat yang bisa dikatakan kota--meski kota kecil--tapi saya tidak merasa asing dengan tradisi di masyarakat sendiri.

Teringat saat saya pada kesempatan lain--di masa sekolah lanjutan atas--saya meminta ke teman lainnya untuk menemaninya menderes karet. Menyusuri gunung yang lumayan terjal, berbalut kecemasan dengan hewan-hewan buas. Saya lakukan dengan perasaan girang, karena inilah kesempatan saya lebih mengakrabkan diri dengan inci demi inci tanah di kampung sendiri.

Hasilnya, untuk diri pribadi, saya bisa menguasai keahlian-keahlian yang dimiliki oleh masyarakat pedesaan itu. Bagaimana memasang atap yang terbuat dari oen meuriya (dedaunan rumbia), juga seperti apa berdiam di hutan di malam hari tanpa perlu dicemaskan bahaya hewan buas. Hingga menguasai kecakapan petani, dari mencangkul, menjaga padi dari gangguan hama dan burung-burung, sampai dengan cara memotong padi. Hal-hal yang sekilas terlihat gampang namun menuntut keseriusan untuk menguasainya. Pengorbanan lain saya untuk menguasai ini adalah jari kelingking kiri yang sempat nyaris putus gegara terlalu semangat saat baru-baru bisa memotong padi dengan menggunakan sabit.

Selepas dari dunia pendidikan, upaya mengenal daerah sendiri saya tempuh dengan memasuki berbagai komunitas yang terdapat di Aceh. Di antaranya, saya sempat berkecimpung di Pos Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh. Di sini, saya terbantu untuk mendalami persoalan yang kemudian menjadi penyebab terjadinya konflik di Aceh. Melihat masalah tanpa perlu terjebak dengan subjektivitas. Walaupun berbagai tragedi kemanusiaan di sana, sedikitnya terekam dan saya ketahui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun