Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Selamatkan Lebih Banyak Nyawa dengan Tidak Mudik

19 Mei 2020   19:57 Diperbarui: 19 Mei 2020   19:59 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Kompas.com

Lebaran sebentar lagi. Sementara pandemi corona masih belum pasti akan hilang sebentar lagi atau lebih lama lagi. Satu hal yang pasti, banyak hal akhirnya harus hilang, semoga hanya sementara, termasuk tradisi berlebaran itu sendiri. Terutama, tentu saja terkait tren mudik.

Di saat-saat begini, memasuki 10 hari terakhir bulan Ramadan, biasanya Jakarta sepi karena penghuninya lebih memilih pulang ke kampung asal mereka. Kali ini, Jakarta sedikit sepi hanya karena adanya pembatasan sosial berskala besar, alias pe-es-be-be. Namun sepi kali ini tentu saja tidak sesepi tahun-tahun biasanya.

Bagaimana di tahun-tahun biasanya? Jakarta ibarat ibu yang setia membagi-bagi susu kepada siapa saja yang datang ke pelukannya, namun di hari sesakral Lebaran, sang ibu ini seperti dilupakan begitu saja. Biasanya begitu. 

Lebaran di Jakarta, biasanya, hanya dijalani mereka yang sejak lahir sudah di sini, atau orang-orang seperti saya yang memiliki kampung asal terbilang lumayan jauh. Gambarannya, ongkos pesawat ke luar negeri seperti ke Singapura hingga Thailand terkadang jauh lebih murah dibandingkan ongkos ke kampung saya sendiri. 

Selebihnya, di banyak ruas jalanan Jakarta menjelang Lebaran biasanya memang kerap sepi, seperti hati mereka yang menyimpan elegi ditinggal pergi kekasih hati. Eh, ini kok malah maksa mau dibuat-buat berbau puisi lagi.

Mau saya bilang begini, Lebaran terkadang bikin banyak orang tenggelam dalam banyak drama. Tak sedikit yang terkesan meratapi ketika Lebaran datang namun tak dapat kesempatan untuk pulang ke kampung halaman sendiri.

Ada kesan, bahwa saat paling tepat untuk pulang ke kampung halaman hanyalah di saat Lebaran. Di luar itu dianggap tidak memiliki sensasi selayaknya saat lebaran. Hambar. 

Tidak keliru pula sih jika akhirnya tetap menjadikan Lebaran sebagai saat sakral, dan mengimaninya sebagai momen paling tepat untuk kembali ke kampung halaman. Sebab, bisa jadi bagi sebagian orang, inilah kesempatan bagi mereka untuk memuliakan tempat asal; mesti di hari yang sakral. 

Berada di kampung ketika Lebaran, bagi sebagian orang, seperti kembali berada di dalam rahim yang memberikan mereka ketenangan, kedamaian, dan semacamnya. Seperti di rahim ibu, kata sebuah lagu.

Sementara bagi yang "ngasal" semacam saya, meskipun rahim sendiri adalah tempat asal semua manusia, namun realitas hidup tidak mengharuskan manusia kembali ke sana. Siapa pula yang setelah lahir bisa kembali ke rahim, kan? Adanya berujung ke kuburan, jika mati. 

Begitu juga soal pulang kampung halaman. Saya saja hanya pulang sebanyak tiga kali sepanjang sepuluh tahun terakhir. Apakah dengan begini lantas saya melupakan tempat asal? Tentu saja tidak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun