Tragisnya lagi, kedaulatan rakyat pun diterjemahkan sebagai suara seluruh rakyat, sementara faktanya yang disebut rakyat adalah segelintir masyarakat yang kebetulan berada di kubu mereka. Di sisi lain, jumlah masyarakat tersebut--jika mengacu ke hasil Pilpres--memang jauh di bawah masyarakat atau rakyat yang tidak menginginkan "dagangan" mereka di Pilpres 2019 ini.
Fakta lain yang turut berpengaruh adalah di saat teknologi digital semakin merangsek sampai ke pelosok nusantara, kemampuan dalam literasi terbilang lemah. Kemampuan dalam mencari referensi untuk menguji sebuah kebenaran pun dapat dikatakan sangat lemah.Â
Kondisi itu akhirnya membuat masyarakat awam, hanya terpaku pada isu apa yang paling kencang berkembang. Saat melihat suatu isu acap digaungkan di televisi, ditambah berbagai video melalui media sosial, akhirnya mereka meyakini bahwa itulah yang benar. Saat isu yang paling berkembang bahwa Jakarta akan jadi "pusat pertempuran" maka mereka meyakini itulah yang akan terjadi.
Kasihan. Sebab akhirnya ketakutan itu justru mengganggu konsentrasi masyarakat yang semestinya bisa mengisi waktu dengan hal-hal yang lebih positif, semisal lebih fokus dalam mencari nafkah, justru terusik dengan isu-isu tersebut.
Maka itu, terlepas adanya perdebatan seputar keputusan pemerintah untuk menutup akses ke beberapa media sosial, dari facebook, instagram, hingga WhatsApp, namun di sisi lain ini juga ada bagusnya.
Dengan kebijakan itu, keran untuk tersebarnya ketakutan ke lebih banyak tempat di berbagai daerah dapat terbatasi. Isu-isu besar yang ditiupkan oleh tokoh-tokoh tertentu yang tak peduli lagi benar atau tidak tindakannya, dapat terlokalisasi. Sedikitnya, langkah ini membantu menyebarnya narasi-narasi panas dapat terbendung.
Memang ada penentangan keras dari berbagai kalangan atas kebijakan yang diambil pemerintah, melalui Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, cq Kementerian Komunikasi dan Informatika.Â
Sebut saja Aliansi Jurnalis Independen, menilai keputusan tersebut justru tidak tepat, karena dinilai melanggar hak-hak rakyat. Begitu juga dengan lembaga semisal Safenet, pun menunjukkan penentangan keras atas kebijakan itu. Mereka tak dapat disalahkan, karena mereka juga ingin mengimbangi pengaruh kekuasaan, agar tidak sampai mematikan keran demokrasi dan hak-hak publik.Â
Namun di sisi lain, pun dapat dipahami bahwa ancaman beredarnya berbagai narasi panas tadi, dapat lebih terbendung dengan kebijakan tersebut. Walaupun juga benar, dengan kebijakan ini banyak pihak yang juga terugikan, seperti para pedagang online, yang terbiasa memanfaatkan berbagai aplikasi online untuk bisnis mereka, terhambat lantaran kebijakan ini.Â
Ringkasnya, semua ini tidak lepas dari kondisi parah yang telah diciptakan oleh beberapa pihak yang lebih mementingkan ambisi politik dibandingkan konsekuensi yang harus diterima oleh publik.
Mereka yang menebar ancaman atau narasi-narasi menakutkan di berbagai media, sama sekali tidak peduli bahwa masyarakat membutuhkan kondisi tenang dan nyaman agar mereka bisa menjalani keseharian mereka seperti normalnya. Ambisi politik membuat mereka tak melihat apa-apa kecuali apa yang mereka inginkan.