Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ulama di Antara Hawa Surga dan Neraka Indonesia

16 Mei 2019   05:40 Diperbarui: 16 Mei 2019   06:02 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Multaqo ulama, inisiatif para ulama dan habaib menetralisir langkah segelintir pihak yang memanfaatkan simbol agama untuk politik sesaat - Foto: NU Online

Belakangan, cerita tentang ulama semakin memenuhi linimasa media sosial dan berbagai ruang berita. Ironisnya, ulama belakangan bukan tenar lantaran pekerjaan memperbaiki umat Islam, namun cenderung berkelindan di pusaran yang tidak jauh-jauh dari politik.

Sebenarnya, kalau mau objektif, saat ulama semakin tenar dan semakin banyak dibincangkan, semestinya memang jauh lebih baik. Terlebih jika meyakini bahwa ulama adalah sekelompok orang yang memang benar-benar memahami Yang Mahabaik, dan dari mereka melahirkan inspirasi-inspirasi supaya pengikut mereka dapat menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik.

Persoalannya justru adanya realitas yang bertabrakan atau bertolak belakang dari keniscayaan ideal tersebut. Mereka yang rajin memamerkan dirinya sebagai kalangan ulama, justru acap tampil dengan hawa kemarahan dan keinginan jadi bagian kekuasaan secara beramai-ramai, lalu menabuh gendang yang tidak enak terdengar di kuping umat.

Alih-alih membawa keteduhan, mereka yang terlihat semakin rajin melabeli diri sebagai ulama, justru membawa hawa panas. Sementara hawa panas, jika mengaitkan dengan pemahaman agama, identik dengan hawa neraka. Saat di mana ulama semestinya dapat membawa hawa surga yang tenang, teduh, sejuk, dan menggembirakan, namun sekelompok orang yang mengaku-aku sebagai ulama justru menebar ketakutan, kecemasan, kekhawatiran, dan was-was. 

Kontras. Kontradiktif!

Beruntung, di tengah kegandrungan sementara kalangan tampil dengan citra bak ulama tanpa kemampuan membawa ruh selayaknya pemuka agama, muncul ulama-ulama lainnya yang selama ini terkenal gigih merawat keindonesiaan.

Multaqo Ulama pada Jumat (3/5/2019) adalah obat bagi umat, bagi rakyat. Sebab di sanalah berkumpulnya ulama, habaib, dan cendekiawan Islam yang mumpuni dalam keilmuwan Islam. 

Tampaknya, memanasnya suhu politik dan semakin panas oleh segelintir kalangan yang juga mengklaim diri sebagai ulama, turut jadi perhatian serius kalangan ulama dan habaib yang selama ini jarang tampil di depan media. Maka itu Multaqo Ulama tersebut berlangsung hingga melahirkan 8 (delapan) poin yang menjadi kesepakatan para ulama yang menginginkan pesta demokrasi, Pemilu (Pilpres dan Pileg), tetap dapat melahirkan harapan baik dan realitas lebih baik.

Mengintip kedelapan poin kesepakatan yang jadi maklumat dari Multaqo Ulama tersebut, ada nilai-nilai yang mengembalikan harapan bahwa keislaman bukanlah ancaman. Keberagamaan dan keberagaman adalah dua hal yang saling menguatkan dan masih dapat dipertahankan.

Poin pertama, misalnya, berisikan penegasan bahwa NKRi adalah bentuk negara yang sesuai dengan Islam yang rahmatan lil alamin. Sesuai juga dengan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa.

Di poin kedua menekankan pada spirit Ramadan, dan para ulama mengajak untuk meningkatkan ukhuwah islamiah, menjalin silaturahmi, menghindari fitnah dan tindakan melawan hukum (inkonstitusional). Di sini cukup menegaskan, bahwa para ulama di Multaqo Ulama tersebut masih mendukung negara untuk tetap menegakkan hukumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun