Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bagaimana Kompasiana di Tahun Politik?

30 Januari 2019   19:50 Diperbarui: 1 Februari 2019   15:45 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pontianak.tribunnews.com

Di antara berbagai platform, Kompasiana menjadi salah satu platform paling menarik perhatian. Jika awalnya hanya jadi tempat wartawan Kompas "melarikan" artikel yang tidak dimuat di sana, kini sudah memiliki penulis dari mana saja, dan pembaca dari mana-mana.

Ada penulis di Kompasiana yang masih gadis, ada yang masih perjaka, ada bekas perjaka, dan ada yang ditinggalkan mantan tanpa bekas kecuali hanya beberapa foto lama. Ada juga penulis Kompasiana, masih pusing mikir, lebih enak sendiri atau menikah saja, ya? Atau, ada juga yang diam-diam meratapi, kenapa aku tidak menikah dari dulu saja?

Eh, ini bercanda. Setelahnya ini barulah kita bercanda lebih serius.

Ya, tulisan Anda dapat saja dibaca oleh lurah, bupati, hingga presiden. Pikiran-pikiran Anda dapat saja sampai ke depan para pengambil kebijakan di berbagai perusahaan hingga pemerintahan.

Bagaimana di tahun politik? 

Kompasianer--sebutan untuk penulis Kompasiana--dapat dipastikan akan terpecah-pecah atau tepatnya terbagi berdasarkan minat masing-masing. 

Akan ada sebagian yang menolak memasuki arus deras perbincangan politik. Akan ada juga yang terjun total ke dalam kawah candradimuka politik. Tidak masalah. 

Masalahnya mungkin hanya bagi para admin Kompasiana sendiri. Sebab, saya pribadi juga menyimak bagaimana berat hatinya mereka untuk memastikan sebuah artikel layak lolos atau "disikat" dalam arti dihapus sama sekali.

Sebab mau tidak mau, di tengah kencangnya perbincangan seputar politik, memang tak dapat dielak bahwa para Kompasianer sebagian di antaranya, akan tetap memiliki keberpihakan, dan berterus terang dengan keberpihakan mereka. Termasuk saya, tentunya.

Di sini, bahwa pihak Kompasiana harus menjaga nama perusahaan dan "keselamatan" Kompasiana sendiri, mudah-mudahan saja tetap dapat arif menyikapi realitas tersebut. Artinya, "dapur" Kompasiana tetap hidup, namun kebebasan berekspresi para Kompasianer--sepanjang tidak berbau SARA dan hal-hal yang menyalahi aturan--sebaiknya dibiarkan saja. 

Kata kuncinya pada kebebasan berekspresi. 

Sebab terlepas keberpihakan para Kompasianer masing-masing, sejatinya mereka dengan gaya masing-masing sedang menunjukkan bagaimana mereka menangkap realitas di tengah gonjang-ganjing politik.

Terlebih lagi ketika tahun politik di mana-mana acap terjadi hoaks, kabar bohong, hingga fitnah. Nah, di sini para Kompasianer yang berasal dari masing-masing kubu politik berhak untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka. Sekali lagi, sepanjang tidak menyalahi aturan, meskipun telanjang berpihak, biarkan saja. 

Di Kompasiana, banyak yang berpihak kepada petahana Joko Widodo. Tidak sedikit juga yang berpihak kepada penantang, Prabowo Subianto. 

Nah, masing-masing mereka  akan tampil, banyak juga yang memang sudah tampil sejak sebelum Pilpres 2014 lalu, dengan kekhasan masing-masing. Sebaiknya memang dibebaskan saja untuk masing-masing berekspresi dan mereka menunjukkan keberpihakan masing-masing. 

Sebaiknya jangan sampai ada kesan, Kompasiana terlalu mengekang. Sepanjang "tidak berbahaya" dan menjurus fitnah, bebaskan saja mereka mengekspresikan ke mana mereka berpihak, dan kenapa mereka berpihak kepada satu pihak.

Sebab, apa saja yang tertulis dan ditayangkan di Kompasiana paling tidak bisa menjadi acuan bagi publik, bagaimana menentukan pilihan dan kenapa harus memilih yang satu dibandingkan lainnya. Kompasiana dapat menjadi media edukasi bagi publik. 

Nah, harapannya juga, terlepas apa saja afiliasi politik, semoga saja para Kompasianer tetap dapat bertukar pikiran, berdebat, atau bahkan "bertengkar" namun sebaiknya juga tidak sampai "membunuh" karakter dan semisalnya.

Perbedaan memang tak bisa dielak. Keberpihakan pun menjadi sesuatu yang tak bisa dihindari. Namun di sini, siapa pun kita, rasanya masih dapat mempertimbangkan bahwa ketika memang ada sesuatu yang buruk, maka keburukan itu mesti ditentang. 

Katakanlah seperti persoalan hoaks yang terlihat seolah dibenarkan demi politik, sebaiknya menjadi sasaran kritikan para penulis Kompasiana. Terlepas kita berada di kubu manapun, perlawanan terhadap hoaks atau kabar-kabar bohong yang menyesatkan publik, sebaiknya menjadi lawan bersama. Bukankah jika sudah memiliki "musuh" yang sama, sejatinya kita tetap berkawan, bukan?

Saya pribadi jauh-jauh hari memang secara terbuka menunjukkan keberpihakan ke satu pihak, dan menunjukkan penentangan keras kepada pihak lain. Keputusan terbuka begini, ekspektasinya tidak lain supaya publik pun bisa mendapatkan kejelasan dari siapa mereka mendapatkan sebuah sudut pandang, dan dari mana ia berasal.

Tapi ini ranah politik, Bung? Kira-kira begitulah sebagian berkilah. Namun di sini, sebagai Kompasianer, yang bagaimanapun telah menjadikan Kompasiana sebagai "rumah", semoga tetap menunjukkan bahwa rumah ini mesti dirawat. 

Selayaknya rumah, pastilah akan ada "pertengkaran", lantaran berbeda sudut pandang, atau berbeda pilihan. Namun, ada prinsip yang, semoga, menjadi prinsip bersama, yakni bagaimana agar rumah itu pun tidak sampai terbakar, dan penghuninya pun selamat. Terutama menyelamatkan akal dari berbagai kabar tidak benar dan menjurus ke fitnah dan semisalnya.

Sebagai salah satu Kompasianer yang sudah berkutat di sini sejak 2009, cuma berharap agar dalam semua perbedaan hingga berbagai pertengkaran yang bisa terjadi, sama-sama bisa saling menjaga. Sekali lagi menjaga, bukan melarang untuk bersilang pendapat. 

Bisa dipahami, pekerjaan para admin Kompasiana akan lebih berat dari biasanya. Sebab dalam tahun politik banyak pihak menghalalkan segala cara, lengkap dengan berbagai intrik, dan bahkan berisiko munculnya berbagai "konflik". Namun di sini, semoga saja Kompasiana dapat menjadi "wasit" yang tetap dapat mendudukkan "kesebelasan" mana saja di posisi setara. 

Berbeda bukanlah masalah. Masalahnya hanyalah jika mengharamkan perbedaan. Kompasiana dapat menjadi "rumah" sekaligus "teater" yang akan menampilkan banyak pementasan, dari yang menghibur, mengundang tawa, berisikan tangisan, hingga teriakan-teriakan. Namun, dari rumah ini juga, seisinya sebagai penghuni akan saling belajar, dan hasil belajar tersebut akan dipelajari oleh banyak orang di luar. 

Sebagai sebuah rumah yang luas dan mampu menampung banyak penghuni, semoga saja setelah melewati tahun politik, Kompasiana bisa melahirkan para penghuni yang berpikiran luas jauh lebih banyak dibandingkan biasanya. 

Sebab, bagaimanapun, Kompasiana adalah rumah bagi berbagai macam pikiran, terlepas berkelas atau tidak, benar atau tidak, kuat atau tidak. Namun dari sanalah para pembaca Kompasiana akan melihat, pikiran manakah yang terbaik yang bisa mereka jadikan sebagai acuan. 

Bahkan, beberapa gadis atau perjaka yang jadi admin Kompasiana pun bisa punya banyak referensi; "Kelak kalo aku bersuami/beristri, ingin yang seperti ini nih!" Eh, malah bercanda. Maap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun