Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Terbukti Pernah Gagal, Kenapa Kubu Prabowo Masih Andalkan Hoaks?

13 Januari 2019   07:40 Diperbarui: 13 Januari 2019   15:30 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : kompas.com

Sumber : kompas.comHoaks itu buruk. Sebab hoaks itu sendiri adalah sebuah bentuk ketidakjujuran. Lugasnya, kebohongan. Tidak akan ada yang membenarkan kebohongan, entah disengaja dilakukan ataupun tidak. 

Nah, jangankan sebuah negara, bangunan sebuah rumah pun bisa cepat ambruk jika bahan yang digunakan terdiri dari pilihan bahan bangunan yang buruk. Belakangan, sebuah pemandangan yang kian sering muncul adalah ketika ada pihak yang ingin sekali dapat memimpin sebuah negara sekelas Indonesia, namun yang ditampilkan kebohongan bernama hoaks.

Merujuk Britannica tentang hoaks atau Hoax: a falsehood generally intended to fool and to entertain.  Sedangkan Collins Dictionary menerjemahkan hoaks sedikit lebih luas. A hoax is a trick in which someone tells people a lie, for example that there is a bomb somewhere when there is not, or that a picture is genuine when it is not. 

Hal menggelisahkan belakangan ini, terutama sejak memasuki tahun politik, hoaks demi hoaks pun bermunculan. Terutama, yang dilancarkan oleh kubu pendukung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, dari hoaks Ratna Sarumpaet hingga surat suara tujuh kontainer.

Walaupun, jika keinginan supaya publik memilih mereka adalah sasaran, apakah tidak ada strategi lain yang dapat menjadi pilihan. Selugu apakah masyarakat ketika kebohongan demi kebohongan disebarkan?

Namun dapat dipahami, hoaks-hoaks ini diproduksi hanya untuk menyasar pihak mana saja yang dianggap menghalangi jalan mereka
untuk berkuasa. Maka itu, serangan-serangan melalui hoaks ini tidak lagi sekadar menyasar petahana Joko Widodo, tetapi juga
melebar hingga ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan bahkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Tidak cukup di situ, berbagai institusi pun tak lepas dari serangan-serangan. Tak terkecuali pers, juga pernah jadi sasaran
serangan. Kalap, Kegagalan terus-menerus sepanjang berhadapan dengan kontestasi Pilpres membuat Prabowo kalap. Itulah yang kemudian terlihat dari pilihan strategi dimainkan supaya makin lengket dengan word of mouth, nama mereka kian sering jadi pembicaraan. 

Perasaan kalap itu juga yang ditularkannya kepada kalangan partainya, hingga kepada partai-partai yang bersedia berkoalisi dengannya. Ibarat prajurit kalap, ketika emosi telah menguasainya, nalar tidak lagi bekerja maksimal, yang terjadi adalah keputusan hasil perasaan kalap yang menguasai. Peluru pun dihambur-hamburkan ke mana saja.

 Sebagai figur yang sejatinya berlatar belakang militer, Prabowo semestinya sangat memahami konsekuensi dari sebuah perasaan kalap. Dengan perasaan kalap dan reaksi seperti ini, yang terjadi adalah habisnya amunisi dan mematikan diri sendiri lebih cepat.

Ini cukup diperlihatkan dari Pilpres 2014 lalu. Jika disimak-simak, peluru fitnah dan hoaks dihamburkan ke mana saja oleh
pendukung Prabowo, sebut saja keberadaan media Obor Rakyat yang berisi banyak informasi keji dan sama sekali tidak berpihak pada fakta sebenarnya.

Obor Rakyat menjadi sebuah bukti dari kebohongan disengaja dilakukan pihak pendukung Prabowo. Tidak membuahkan hasil seperti diharapkan, kecuali sekadar menghadirkan gonjang-ganjing, merebaknya fitnah, hingga masyarakat pun terpecah.

Jika melihat lagi hasilnya pada 2014 itu, Prabowo tetap tersingkir oleh figur yang dianggapnya jauh lebih lemah: berfisik kurus, dicitrakan buruk
dengan planga-plongo, tidak punya pengalaman panjang di dunia politik, dan bahkan tidak punya partai sendiri.

Sedangkan Prabowo sendiri memiliki kekayaan besar, sumber keuangan besar, dukungan keuangan pun besar. Selain partai sekelas Golkar pun saat itu berada di pihaknya, dan Aburizal Bakrie sebagai "mesin uang" juga berada di pihaknya. Tapi, itu juga terbukti tak bisa mencegahnya untuk menelan kegagalan.

Ironisnya, pengalaman panjang di dunia politik dan kelebihan karena punya partai besar, tak lantas membuat Prabowo dan pendukungnya
menangkap pesan besar: bahwa cara-cara buruk hanya membawa hasil buruk. 

Apa yang terjadi justru mereka sendiri menjadi bahan tertawaan. Mengira tipuan dan kebohongan akan menjatuhkan lawan, justru membuat mereka sendiri tertipu dan membohongi diri sendiri. Ingat bagaimana mereka bersujud syukur dan tayang di TV nasional, hanya karena hasil hitung cepat kalangan sendiri, justru akhirnya menipu mereka sendiri.

Pengalaman buruk di Pilpres 2014, telah mengerahkan segala cara namun tetap hanya berujung hasil buruk, semestinya Prabowo
bisa menjadi yang paling depan untuk menegaskan cara-cara lebih baik. Sebab ia sendiri sudah melihat langsung bagaimana
langkah politik yang buruk sama sekali tak memberinya hasil yang baik. Uang habis, nama baik sendiri jadi taruhan, dan masyarakat luas pun menjadi korban.

Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyatakan kasus hoax penganiayaan Ratna Sarumpaet memberikan sentimen negatif kepada pasangan Prabowo-Sandi. Melansir Detik.com, hal itu membuat pemilih yang belum menentukan pilihan (swing voters) cenderung memilih pasangan Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin.

"Naiknya sentimen negatif terhadap Prabowo-Sandiaga menyebabkan pemilih yang belum menentukan pilihan cenderung memilih Jokowi-Ma'ruf Amin," kata peneliti LSI Ikrama Masloman.  

Sejatinya cukup menjadi sinyal, saat ia semakin gigih mengerahkan kekuatan untuk mencari-cari keburukan lawan, sejatinya yang terjadi justru keburukannya sendiri yang semakin terbuka dan menganga. Di mana buktinya? Satu demi satu partai yang dulu dianggapnya sebagai kawan sejalan
kini justru menjauhinya.

Bagaimana dengan koalisi?
Ada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang memilih bertahan bersamanya, atau Partai Demokrat (PD), namun alih-alih bisa diharapkan mampu melakukan sesuatu, untuk menjaga stabilitas partai saja mereka tidak mampu. Bagaimana mereka bisa dipercaya mampu mengurus negara jika mengurus partai saja menunjukkan ketidakbecusan.

Menyebut bahwa kubu ini memiliki PD dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai sosok berpengalaman dan telah berkuasa hingga dua periode sebelum Joko Widodo, bukan jaminan. Sebab dari dua periode SBY berkuasa, apa yang paling membekas di benak publik adalah sederet nama orang-orang terdekatnya yang tersangkut korupsi yang merugikan negara.

Rekam jejak buruk pemerintahan SBY pun diungkap dalam buku Jejak Korupsi, Politisi, dan Klan Cikeas yang rilis pada 2014 lalu. Merujuk buku yang dituliskan oleh Jusuf Suroso, ada seabrek korupsi kelas raksasa yang terjadi di masa SBY.

Di buku itu dibeberkan daftar orang dekat SBY tersandung korupsi. Dimulai dengan Andi Alfian Mallarangeng: tersangka kasus korupsi proyek pembangunan Pusat Pelatihan dan Pendidikan Sekolah Olahraga Hambalang. Anas Urbaningrum: tersangka kasus gratifikasi proyek pembangunan Pusat Pelatihan dan Pendidikan Sekolah Olahraga Hambalang. Angelina Sondakh: tersangka suap proyek pembangunan Wisma Atlet. Mohammad Nazaruddin: tersangka skandal suap proyek Wisma Atlet.

Masih ada lagi Siti Hartati Murdaya: kasus suap Bupati Buol. Rudi Rubiandini: tersangka kasus SKK Migas. Jero Wacik: Ia termasuk yang harus bertanggung jawab terkait skandal SKK Migas dengan tersangka Rudi Rubiandini. Boediono: dalam surat dakwaan tersangka Budi Mulya, nama Boediono sebagai mantan Gubernur BI disebut sebanyak 67 kali.

Tercatat juga di buku itu sosok Edhie Baskoro Yudhoyono yang tak lain adalah putra SBY sendiri. Apalagi, Yulianis dan Deddy Kusdinar menyebut Ibas menerima pemberian $US.200 ribu. 

Ada lagi Sylvia Soleha alias Bu Pur alias Bunda Puteri: istri pensiunan perwira menengah Polri, Purnomo D Rahardjo yang sehari-hari 'ngantor' di Cikeas ini tiba-tiba namanya kondang paska terbongkarnya skandal proyek P3SON Hambalang. 

Ditambah lagi yang fenomenal, yakni mendiang Sutan Bhatoegana yang disebutkan dalam surat dakwaan Rudi Rubiandini, menerima THR $US.200 ribu. Tri Yulianto: dalam surat dakwaan Rudi Rubiandini disebut menerima THR $US.200 ribu.

Ringkasnya, keberadaan orang-orang yang berpengalaman panjang dalam politik dan kekuasaan pun tak bisa menjadi jaminan bahwa keberadaannya akan begitu saja membawa dampak baik. Lha, negeri ini hampir bangkrut dengan korupsi bertubi-tubi dilakukan orang-orang terdekat SBY. 

Dari situ cukup terlihat bahwa SBY sendiri adalah figur tidak berdaya dalam menghadapi kebohongan yang berujung korupsi, hingga orang-orang kepercayaannya pun menjadi aktor-aktor korupsi yang sangat merugikan negara. 

Maka itu, keberadaannya di kubu Prabowo yang belakangan pun menunjukkan kegandrungan membenarkan kebohongan, menjadi persoalan serius. Bayangkan saja, apa yang terjadi jika sesama pembohong bekerja sama, apakah tidak akan membuat kebohongan kelak dilakukan semakin sempurna? 

Nah, jika kebohongan dilakukan dengan sempurna, maka ketakutan ditebarkan Prabowo bahwa negara akan hancur pada 2030 akan terbukti benar. Akan benar-benar terjadi, jika figur-figur yang terbukti gandrung terhadap kebohongan bekerja sama.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun