Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kala Kebohongan Jadi Perekat Prabowo dan Sandi

10 Januari 2019   14:16 Diperbarui: 10 Januari 2019   14:19 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa kali Sandiaga terbukti membohongi publik, saat semestinya ia tampil lebih edukatif sebagai calon pemimpin - Gbr: Gosipviral.com

Sebagai masyarakat biasa, saya masih tidak habis pikir dengan sepak terjang pasangan Prabowo dan Sandiaga Uno (Sandi). Bekal mereka bertarung di dunia politik, makin ke sini semakin menegaskan sesuatu yang terbilang sangat rendah. Tidak hanya rendah dalam kacamata agama, tapi juga moral, dan di mata masyarakat umumnya.

Itu adalah kebohongan. Seburuk-buruk manusia, saya pikir, akan tetap mengakui bahwa kebohongan adalah sebuah kebiasaan buruk, dan mencerminkan mental yang rendah. Bahkan seorang koruptor yang paling dibenci pun, melakukan korupsi karena ia merasa memiliki kemampuan berbohong, mampu membohongi, hingga ia mencuri. Tidak peduli bahwa apa yang dilakukannya membuat satu negara bisa rugi.

Tidak peduli. Ketidakpedulian inilah yang tampaknya makin gencar dipamerkan Prabowo. Ini juga yang secara aktif dipamerkan Sandi. 

Seolah mereka saling sepakat untuk memamerkan kebohongan. Ada kesan, ngapain memusingkan pandangan orang, toh kita sudah sangat terbantu sebagai orang-orang pilihan ulama? Soal dosa berbohong, bisa ditutup dengan cepat karena ada sekelompok ulama yang siap membela.

Mereka seperti tidak peduli, bahwa dengan satu kebohongan ke kebohongan lainnya, sejatinya mereka juga telah melumuri muka sebagian tokoh yang konon adalah ulama. Bahwa, mereka adalah figur-figur yang dipilih oleh ulama. 

Mereka menodai wajah ulama tanpa merasa berdosa. Tanpa beban, bahwa ketika sudah mencoreng muka ulama, maka mereka sudah mencoreng wajah satu agama yang menentang keras kebohongan. 

Ironisnya lagi, orang-orang yang konon adalah ulama itu juga terkesan tidak peduli bahwa kebohongan adalah sebuah kekejian, dan itu adalah sesuatu yang sangat ditentang agama. 

Terlebih Islam adalah agama yang sangat menekankan pada akhlak, mengharamkan kebohongan. Bahkan ada hadits yang menegaskan bahwa salah satu ciri orang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Keniscayaan ini justru tidak ditegaskan, atau ditunjukkan dengan tegas.

Berbohong adalah kebiasaan yang sangat bertentangan dengan akhlak. Bisa juga diterjemahkan bahwa pelaku kebohongan adalah orang yang buruk akhlaknya. Sebab di antara ciri orang berakhlak baik itu sendiri adalah tidak suka berbohong. Lalu, bagaimana Prabowo dan Sandi bisa tanpa merasa bersalah mengidentikkan diri dengan Islam seraya terus-menerus menebar kebohongan. Juga kok bisa para ulama yang berdiri di barisannya memilih diam saja dengan fakta di depan mata dan dilakukan dengan sengaja?

Sebuah Ironi

Ironis karena kebohongan itu tidak hanya dilakukan Prabowo. Jika Prabowo sudah menebar kebohongan lewat klaim sepihak atas Ratna Sarumpaet yang katanya dianiaya dan disiksa, hingga kebohongan soal harga hingga utang negara, Sandi pun terlihat tidak mau kalah.

Sandi pun menciptakan kebohongan-kebohongan lain, seperti cerita tentang tempe yang katanya setipis ATM. Sementara kita rakyat biasa yang sering turun ke pasar menemani istri, tidak melihat seperti dilihat oleh calon wakil presiden ini. 

Atau, bagaimana Sandi mengemas cerita tentang Ibu Lia di Pekanbaru yang katanya diberi uang Rp100 ribu tapi cuma bawa pulang bawang dengan cabai. Mungkin Sandi ini sendiri memang terlalu sibuk sebagai seorang elite, tidak pernah menemani istri ke pasar, hingga cerita begitu dipercaya mentah-mentah, dan disebarkannya kepada banyak orang. 

Itu yang bikin saya terbayang, pastilah pembantu-pembantu Cawapres ini diam-diam tertawa. "Heh, Pak! Boleh dong ntar tiap belanja bulanan, cabai dan bawang dijatahin sebulan tiga juta deh!" Naga-naga, Cawapres begini bahkan bisa ditipu oleh pembantu rumah tangganya sendiri. Lalu yang begini mau mengurus negara yang punya seabrek masalah lebih dari sekadar bawang dan cabai?

Makanya saya tidak habis pikir, ada Cawapres gini amat! 

Kalau salah satu saja yang sekali dua kali salah omong, bisa dimaklumi. Namun melihat berkali-kali ia berbicara dengan cerita yang lebih kental kebohongan, dan kebohongan ini pun dengan rajin ditebarkan sosok paling menentukan, Prabowo sebagai Capres, tampaknya memang mereka meyakini bahwa kebohongan adalah sebuah jurus penting dalam politik.

Jika kebohongan telah sangat diyakini sebagai sebuah langkah penting, lalu bagaimana calon pemilih bisa yakin bahwa jika mereka kelak memimpin takkan membohongi rakyat?

Dengan benang merah yang mempertemukan kebohongan pasangan Capres/Cawapres Prabowo-Sandi ini, memantik kecurigaan saya sebagai rakyat. Jangan-jangan mereka berkuasa cuma untuk membohongi rakyat saja. Jangan-jangan mereka berpolitik hanya untuk membohongi orang-orang saja. 

Apalagi ketika seorang Sandi sesumbar bisa mengubah nasib rakyat lebih cepat dibandingkan yang mampu dilakukan seorang Nabi, dari mana bisa melihat bukti berdasarkan rekam jejaknya?

Berapa bulan ia menjadi wakil gubernur di Jakarta? Apakah dalam tiga bulan pertama ia sudah berperan penting mengangkat ekonomi warga di Jakarta. Apakah selama itu ia sudah membuat warga di sini melejit ngalah-ngalahin mukjizat dimiliki Nabi? 

Ia hanya meninggalkan jejak berupa kebohongan demi kebohongan. Ini sejatinya adalah sesuatu yang sangat dimusuhi di negeri ini dan masih gencar diperangi oleh pemerintah dan rakyat.

Sebab se-Indonesia sudah memaklumi, banyak koruptor lahir karena mereka melazimkan kebohongan. Mereka berbicara kesejahteraan rakyat, tapi ketika ada peluang justru uang negara pun diembat.

Mereka berbicara tentang mimpi indah memakmurkan rakyat, tetapi uang-uang yang sudah dijatahkan untuk memakmurkan rakyat justru disikat tanpa peduli berisiko membuat rakyat semakin sekarat. 

Itulah yang dilakukan para pembohong. Lalu figur yang terang-terangan menunjukkan diri secara gamblang sebagai pembohong-pembohong seperti ini mau dipercayakan lagi untuk mengurus urusan rakyat? Dengan kebohongan lalu mereka bisa membuat negara bisa berlari lebih cepat? Bohong!

Jika pemimpin sudah akrab dengan kebohongan maka kemakmuran rakyat hanya menjadi cerita bohong. Jika seorang pemimpin sudah menunjukkan kebiasaan membenarkan kebohongan maka sesumbar mereka bisa menyejahterakan rakyat juga hanya kebohongan. Kecuali jika rakyat pun sudah akrab dan menganggap biasa sebuah kebiasaan bohong,  maka calon pemimpin yang rajin berbohong bisa saja terpilih. 

Rakyat perlu tegas

Sejauh ini saya masih meyakini, rakyat negeri ini masih sangat menghargai kejujuran. Rakyat di negara ini sudah melihat bagaimana negara sempat sekarat hanya karena politisi banyak yang tidak jujur.

Soeharto dalam 30 tahun lebih memimpin, hampir membuat negara ambruk, karena ia dikelilingi oleh para pembohong. Presiden kedua terlama memerintah, Susilo Bambang Yudhoyono, pun punya catatan merugikan negara karena memilih elite di lingkarannya dari kalangan yang terbukti pembohong dan korup. 

Maka itu, mencegah figur-figur yang memiliki kebiasaan berbohong memimpin negara sebesar ini menjadi tanggung jawab rakyat. Tanggung jawab kita yang sudah melihat bagaimana kebohongan telah melahirkan banyak koruptor, dan mengisap keringat dan darah rakyat.

Sebagai rakyat, kita membutuhkan pemimpin yang mampu memberikan semangat hidup kepada rakyat, bukan pemimpin yang cuma ingin mencari kehidupan dengan mengatasnamakan rakyat. Bukti 32 tahun Soeharto berujung negara sekarat, dan SBY 10 tahun yang berujung banyak uang negara disikat, cukup menjadi alasan agar mereka yang membiasakan kebohongan tak memperparah keadaan ketika negara sedang di jalur yang tepat.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun