Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Masih Ada Nilai Demokrasi dari Aksi Reuni 212

7 Desember 2018   10:26 Diperbarui: 7 Desember 2018   11:02 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kekuasaan bukanlah kesempatan untuk mengekang. Inilah pendidikan penting di balik acara ini - Foto: Nusantaranews

Terlepas urusan kubu-kubuan di tahun politik, saya pribadi sempat berharap agar reuni yang berlangsung 2 Desember lalu atau yang dikenal sebagai "Reuni 212" bisa menjadi sebuah panggung pendidikan untuk publik, terutama untuk masyarakat Muslim Indonesia.

Pasalnya, sebagian besar yang berangkat menuju Monumen Nasional, lokasi acara itu sendiri, adalah umat Muslim. Tak sedikit yang datang dengan merogoh kocek sendiri, walaupun juga ada kabar bahwa penyokong dana dari kalangan elite pun beramai-ramai menyumbang agar acara berjalan lancar.

Terkait mereka yang memilih datang dengan merogoh kocek sendiri, hampir bisa dipastikan karena mereka memiliki semangat keislaman sangat tinggi atau setidaknya militansi dalam mendukung seorang calon presiden yang umumnya mereka sukai. Kenapa saya menyebut begitu, karena di acara ini ada dua kepentingan yang memang mengental yakni kepentingan politik dan juga kepentingan--katanya--untuk membela agama.

Kenapa menyebutkan politik, karena memang figur-figur yang hadir dan mendapatkan tempat spesial di acara ini adalah nama-nama yang tak asing lagi berada dan berdiri di pihak oposisi. Prabowo Subianto, Hidayat Nurwahid, Zulkifli Hasan, dan para dedengkot koalisi duduk di tempat khusus yang relatif lebih nyaman dibandingkan ribuan peserta yang harus berdiri dan berpanas-panasan.

Selain itu, yang tampil berbicara pun lagi-lagi adalah Prabowo dan beberapa "pemuka agama" yang terkenal sebagai sosok-sosok sangat terkenal sebagai pendukungnya. Sebut saja Tengku Zulkarnain dan Bahar bin Smith, tercatat sebagai dua figur yang sedang naik daun, dan tak segan-segan mencela pemerintah dan turut mengembuskan isu-isu sensitif, pun berada di antara para pembicara. 

Dari sana, tentu saja mudah diraba bahwa ini adalah sebuah aksi politik. Hanya dilakukan karena kalkulasi politis, dan digerakkan untuk bisa menciptakan efek gema bahwa salah satu capres mendapatkan dukungan umat Muslim. Untuk inilah, langkah membungkus acara dengan polesan agama memang menjadi strategi paling ampuh. 

Maka itu, menjadi pertanyaan penting juga, apakah reuni dengan memoles seperti ini bisa menjadi panggung pendidikan politik bagi publik, atau setidaknya untuk para peserta yang rela berlelah-lelah dari berbagai daerah untuk datang?

Ada. 

Sebab dengan keramaian yang jelas-jelas berisikan penentangan keras kepada pemerintah yang notabene saat ini dipimpin oleh Joko Widodo, namun mereka tetap bisa melangsungkan acara tersebut tanpa terusik oleh aparat keamanan, baik dari militer ataupun dari kepolisian.

Pendidikan di sini adalah bahwa kekuasaan memang bukan untuk membungkam. Kekuasaan bukan untuk menghalang-halangi masyarakat untuk berekspresi. Maka itu, lewat acara ini, para peserta bisa mendengarkan pembicara bersuara, terlepas yang disuarakan adalah aroma penentangan kepada pemerintah.

Misal saja, pernyataan Tengku Zulkarnain sendiri yang sempat viral hingga di media sosial, "Katanya Indonesia itu kalau bikin jalan, penjajah Belanda pun bikin jalan, betul? Dari Anyer sampai Panarukan penjajah Belanda betul?" Apakah pernyataan ini mendidik? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun