Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengembalikan Kehangatan di Media Sosial

9 April 2018   17:54 Diperbarui: 9 April 2018   19:27 1833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gbr: Andrezamendes.com

Semestinya media sosial memang menjadi tempat bersosialisasi. Sayangnya memang terkadang media sosial terseret ke dalam situasi yang bahkan jauh dari nilai-nilai sosial, dan nilai kemanusiaan.

Perbedaan pandangan politik acap dijadikan pembenaran untuk menjadikan sementara kalangan yang dipandang lemah untuk menjadi tumbal. Bukan hal asing jika konten berbau hasutan dan fitnah terasa kian leluasa saja. Ya, kalau itu terasa sebagai sebuah dosa yang pernah Anda lakukan, saya juga bisa jadi pernah sengaja atau tak sengaja turut melakukannya.

Idealnya, perbedaan pandangan politik bukanlah sebuah masalah. Politik memang membenarkan perbedaan, lantaran memang ranah tersebut menjadi wadah untuk bermacam ragam pikiran, idealisme, prinsip, dan sudut pandang. Menjadi masalah hanya jika karena alasan politik lalu memilih untuk menjadikan banyak hal sebagai tumbal, sebagai korban, sebagai umpan.

Narasi-narasi dibangun cukup menjelaskan itu. Jika kita amati, bagaimana di sana, semata-mata demi kepentingan politik, agama pun dibentur-benturkan. Demi kepentingan kelompok, persoalan suku pun terseret-seret.

Ribut-ribut di media sosial bermunculan. Hampir sebagian besar hanya melanjutkan dari ribut-ribut yang muncul dari figur-figur yang dipandang sebagai panutan. Tragisnya lagi ada sebagian tokoh yang merasa menjadi panutan, tanpa terbeban melemparkan berbagai pernyataan yang mengundang keributan.

Lalu keributan semakin bermunculan, sementara yang mengajak untuk melihat dengan jernih dituding tak memiliki sikap. 

Jadi teringat beberapa hari terakhir. Saya pribadi berinisiatif melemparkan cuitan di akun Twitter, hanya berisi kalimat bahwa saya sebagai seorang Muslim juga menyukai lagu-lagu gereja atau lagu rohani. Respons yang saya dapatkan di sana justru cukup menyentuh, karena terlihat para pengguna media sosial membutuhkan sesuatu yang mendamaikan dan menenangkan. 

Ada kelelahan bagi sebagian pengguna media sosial melihat keributan dan pertikaian yang bermunculan hampir tanpa jeda di sana. Mereka menyukai obrolan-obrolan yang menggembirakan, membawa kesejukan.

Dari cuitan yang saya sebutkan di atas, muncul banyak cerita tentang pemeluk agama Nasrani yang juga mengakui jika mereka akrab dengan Islam dan bahkan menghafal Alfatihah sampai terlibat dalam kegiatan-kegiatan berbau keislaman.

Ada lagi yang bercerita tentang keluarga yang tetap baik-baik saja walaupun di tengah-tengah mereka terdiri dari berbagai agama.

Ya, mereka merindukan cerita-cerita seperti itu. Sekaligus sebagai gambaran tentang sebuah realitas yang tak lagi meributkan perbedaan sebagai hal yang harus disikapi dengan permusuhan. Di cuitan kecil itu saja, mereka bercerita selayaknya sahabat-sahabat yang sudah saling mengenal, berbagi tentang pengalaman mereka. Mereka mengekspresikan kerinduan mereka pada kedamaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun