Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pesan dari Salim Kancil

6 Oktober 2015   22:43 Diperbarui: 6 Oktober 2015   22:51 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak hanya saat dia hidup, bahkan ketika dia mati pun masih mampu memberi. Mungkin, kalimat itulah yang bisa dikatakan dan mewakili tragedi kemanusiaan di Lumajang yang menimpa Salim Kancil. Ketika hidup, dia memberi pelajaran lewat aksinya menantang kesewenang-wenangan, dan ketika mati dia memberi semacam kesadaran bahwa tak melulu orang-orang berpendidikan tinggi yang bisa memberikan dedikasi tinggi.

Ya, pemberiannya itu tak hanya ditujukan untuk Desa Selo Awar-awar, tempat ia hidup dan juga tempat dia mengembuskan napas terakhirnya. Meski dengan aksi yang berujung kematiannya, telah membantu kasus di sana lebih terlihat dan kian diperhatikan hingga ke level nasional. Tapi lebih penting lagi, dia telah memberikan pelajaran penting, untuk apa sesungguhnya hidup jika tidak untuk memberi.

Dari sisi kelebihan, berdasarkan pengakuan istrinya, nyaris tak ada yang menonjol. Dia tak bisa baca tulis. Dia hanya orang desa. Sederhana. Tapi dia telah melakukan sesuatu yang mungkin tak selalu menjadi perhatian orang-orang yang cerdas baca tulis, beraksi dengan cara yang tidak selalu mampu dilakukan orang-orang yang bahkan terlahir di tempat lebih "wah" dari desa. Itu adalah perlawanan.

Perlawanan. Satu kata yang sepintas begitu sederhana. Tapi satu kata itu, kerap membuat banyak orang yang bisa baca tulis, hanya akan melakukannya ketika mereka sudah bisa memastikan diri aman, memastikan terencana, dan memastikan adanya orang-orang yang mendukung mereka.

Salim berbeda. Dia tetap bergerak, beraksi, ketika bahkan ia sendiri sadar, yang menentangnya dan dilawannya jauh lebih banyak dan jauh lebih kuat darinya. Sekalipun di atas kertas, orang-orang yang dihadapinya unggul dalam segala hal dibandingkan dia. Sebaliknya, Salim memiliki satu keunggulan yang sejatinya memang tak bisa dihitung, namun sejatinya jauh di atas mereka yang memiliki apa saja yang lebih banyak dari dia. Itu tak lain adalah keberanian.

Orang-orang seperti Salim selalu dibutuhkan. Terkadang, orang-orang seperti dia memang lahir lewat pendidikan, tapi dia sendiri adalah manusia hebat yang "melahirkan" sosok dirinya tanpa ingin terlihat hebat atau harus mendapatkan "senjata" hebat terlebih dulu. Meski bukan lewat pendidikan.

Kepada istrinya, ia hanya kerap mengatakan, "Aku ingin melawan. Aku ingin seperti Bung Karno." Itulah sikap dia di depan penzaliman sekelompok orang kaya dan penguasa di desanya. Sendiri saja. Tak banyak tangan yang membantunya untuk melaksanakan rencana perlawanan ala dia. Bahkan ketika nyawa mulai meregang, tak ada yang tergerak membantunya.

Ya, ada sangat banyak hal ditinggalkan olehnya, sebagai pemberian yang bisa dikatakan abadi. Bahwa, di tengah kesewenang-wenangan, maka yang dibutuhkan adalah orang yang berani melawan. Sekalipun mungkin, di tengah kebutuhan itu, tak ada yang menyatakan bahwa mereka membutuhkan itu--mungkin karena mereka tak berani atau alasan lainnya.

Tanpa ada yang meminta pun, Salim memberi. Perlawanannya itulah pemberiannya.

Betapa, lewat perlawanan yang berujung kematiannya itu, Salim tidak saja telah membuka adanya persoalan di tanah yang dipertahankannya yang berada di sebuah desa. Tapi ia juga membuka mata kita lebih lebar, betapa alat-alat negara saja selama ini telah mengkhianati rakyat yang "memberi makan" kepada mereka lewat pajak.

Jika seorang pahlawan mati, seharusnya pengkhianat pun sepantasnya mati. Sayangnya, saat pahlawan mati, mungkin pengkhianat hanya beberapa hari di balik jeruji besi. Kecuali, jika penegak hukum di negeri ini memang mampu memberi bukti, bahwa mereka masih bertaji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun