[caption id="attachment_33400" align="alignleft" width="300" caption="Hati harusnya bisa lebih indah (gbr: google)"][/caption]
Adalah sebuah kemalangan, bila hari ini kita masih saja menjadi bagian dari manusia yang tidak tahu bahwa kita tidak tahu
***
Betapa banyak para pemuja intelektualitas. Pemuja rasio, logika dan sebangsa itu. Apa konsekuensi yang terlalu besar dari itu? Altar kehidupan hanya dipenuhi dupa kebusukan, memenuhi ruang-ruang kedamaian. Semua kita nyaris menjadi orang-orang yang kerasukan, meracau, mengigau dan lantas mencoba mengatakan pada orang-orang, inilah kebenaran.
Dalam sebuah dialog dengan seorang sahabat, perempuan muda. Kutanyakan padanya,"sekian puluh tahun engkau hidup, berapa banyak manusia yang riil kau lihat mencintaimu dengan sepenuh hati?"
Dengan sinar mata penuh ketegasan dan keyakinan, ia menjawab. "Hanya satu orang saja. Lainnya, hanya meminta saya untuk memahami mereka, mendengar mereka, pasang badan untuk semua kesakitan yang harusnya mereka derita sendiri. Tetapi kemudian saya harus paksakan diri sendiri untuk ikhlaskan, saya tidak mendapatkan apa-apa. Selain, ketenangan jiwa yang saya paksakan. Pemaksaan yang saya lakukan sendiri itu, kemudian menjadi sesuatu yang indah dalam hidup saya. Aku menikmati itu semua."
"Kau butuh pada manusia seperti yang mencintaimu itu?"
"Aku membutuhkan manusia seperti itu. Namun aku masih cukup terang melihat bahwa dia adalah manusia yang sedang disinggahkan Tuhan dalam hidup Tuhan. Jika Tuhan sudah inginkan dia untuk mati, pergi entah kemana, menghilang. Saya bisa terjebak dengan kesedihan yang terlalu dalam. Mencampakkan saya dalam kedalaman kesedihan itu dan mungkin saja tidak akan bisa terbangun kembali. "
"Maka saya coba untuk memaksa diri dengan sekuat tenaga, tidak menjadikan dia sebagai kebutuhan saya. Namun hanya menerima dia sebagai anugerah Tuhan yang bisa saja pergi kapan saja dia ingin. Bisa menghilang kapan saja dia memang merasa lebih baik untuk menghilang."
"Apakah itu layak untuk disebut sebagai cinta?"
"Iya, jika kau ingin melihat cinta seperti aku melihat, maka seperti itulah cinta. Tidak ada definisi cinta yang lebih bijak dari itu. Semua yang ku alami itu adalah gambaran cinta." Ujarnya dengan keyakinan yang begitu kuat. Aku mencoba untuk tidak melihat kalimatnya sebagai sebuah kesombongan, tidak meykinya sebagai bentuk keangkuhan seorang sahabat. Selain mencoba mencerna dengan semua yang kubisa bersama semua keterbatasanku.
"Pengetahuan itu tidak akan bermakna apa-apa tanpa cinta. Pengetahuan tanpa cinta hanya akan menciptakan para pembunuh yang hanya bisa melihat kepentingan dirinya sendiri. Lantas seketika ia buta, tidak bisa melihat apapun, selain kebodohan yang menjadi karang. Karang yang takkan bisa dileburkan dengan palu sebesar semua samudera." Ucapnya lagi, menambahkan.
"Lalu apakah yang disebut dengan kecerdasan yang sebenarnya?"
"Iya, kecerdasan itu adalah kemampuanmu melihat, bahwa kau tidak tahu apa-apa. Dan kau berhenti menjadi pemuja intelektualitas yang tidak mampu memberi makna apa-apa. Berhenti bersenggama dengan berhala rasio belaka. Kecerdasan itu adalah perjuanganmu mengasah rasa dan keberanianmu menyelam kedalam samudera jiwa. Menghilangkan ketakutan pada caci maki. Tetapi mencoba terus untuk jelaskan kebenaran dengan kebijaksanaan yang tidak membunuh. Kebijaksanaan yang membuat orang-orang disekitarmu terjaga dan sadar, bahwa mereka masih hidup"
Tanda Cinta untuk Bidadari