Mohon tunggu...
Achmad Soefandi
Achmad Soefandi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya, Jurusan Sosiologi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Togog

15 Februari 2016   12:19 Diperbarui: 15 Februari 2016   12:37 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Togog yang penulis jabarkan dalam tulisan ini bersumber dari novel tulisan Gesta Bayuadhy yang berjudul “Togog Tejamantri, Pamong Pembisik Kesejatian”. Penjelasan ini penulis sertakan karena harap dimaklumi ketika dalam penjabaran berikutnya tentang Togog, jika ada kesalahan harap dimaklumi bagi pembaca, karena sumber yang diketahui penulis tentang tokoh pewayangan ini hanya berasal dari novel karya Gesta Bayuadhy.

Jujur penulis pertama kali baru mendengar nama togog dari novel ini dan dari novel ini pula penulis mengetahui bahwa kaum kurawa juga memiliki sosok punakawan yang bernama Togog. Pengertian punakawan sendiri adalah abdi atau pembantu. Ketika mendengar kata punakawan yang terbesit dalam benak penulis adalah sosok semar, petruk, gareng dan bagong. Peran punakawan yang dipahami penulis adalah berperan sebagai abdi bagi para pandawa khususnya Arjuna. Selain sebagai pembantu peran punakawan adalah untuk memberikan saran bagi bendaranya (tuan) ketika menghadapi permasalahan. Sosok punakawan yang terkenal adalah semar. Bagi banyak orang termasuk penulis sendiri semar bukan nama yang asing. Tapi untuk sejarah asal usul semar mungkin banyak dari kita termasuk penulis tidak mengetahui, apalagi sosok Togog.

Kisah ini bermula ketika Sang Hyang Tunggal menunggu kelahiran istri tercinta. Sang Hyang Tunggal adalah penguasa dari Kahyangan Jonggrisaloka. Kekhawatiran muncul ketika usia kandungan istri tercinta Sang Hyang Tunggal, Batara Wiradi tidak kunjung melahirkan anak yang sudah dikandungnya padahal usia kandungan sudah mencapai lebih dari sembilan bulan sepuluh hari. Selain itu ketika masa melahirkan istri sang Hyang Tunggal tidak pernah mengalami masa ngidam. Dua hal ini menyebabkan sang Hyang Tunggal berfikir buruk terhadap janin yang dikandungnya, dikhawatirkan janin yang dikandung sang Istri kelak lahir dalam keadaan yang tidak normal.

Ditengah rasa bahagia bercampur dengan khawatir, Sang Hyang Tunggal mendengar suara dayang yang memberi kabar bahwa sang cabang bayi sudah lahir kedunia. Kabar tersebut disambut gembira tapi Sang Hyang Tunggal tidak mengetahui bahwa bayi yang dilahirkan tidak sesuai dengan harapan yang sudah diangan-angankan. Ketika melihat bayi yang lahir sang Hyang tunggal kaget, karena bayi yang dilahirkan tersebut bukan seperti bayi pada umumnya. Yang dilahirkan oleh istri sang Hyang Tunggal lebih menyerupai telur yang berbentuk bulat dan berwarna putih (Bayuadhy, 2013: 14-15).  Melihat wujud yang dilahirkan bukan bayi melainkan telur,membuat Sang Hyang Wirandi bersedih dan menangis.

“ Mengapa kita menerima musibah seperti ini, pukulun? Apa salah dan dosa kita, sehingga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan cobaan yang seberat ini” (Bayuadhy, 2013:13)

Setelah melihat wujud bayi yang dilahirkan Sang Hyang Tunggal berangkat  menemui ayahnya Sang Hyang Wenang untuk meminta nasihat dan tindakan apa yang harus dilakukan. Setelah menemui Sang Hyang Wenang, sang Hyang Tunggal diperintahkan untuk memanjatkan do’a kepada pencipta agar telur ini bisa diubah menjadi sosok bayi normal seperti pada umumnya. Setelah berdoa selang beberapa saat telur tersebut mengeluarkan asap putih dan tidak lama berselang telur tersebut pecah, dan menjadi tiga bagian terpisah meliputi: kulit telur, putih telur dan kuning telur. Kemudian dengan kesaktianya Sang Hyang Tunggal membacakan Mantra Saktinya dan berubahlah ketiga bagian tersebut menjadi tiga bayi laki-laki yang lucu. Untuk anak yang berasal dari cangkang telur dinobatkan menjadi anak pertama dinamakan Antaga, anak kedua yang berasal dari putih telur dinamakan Ismaya dan anak bungsu yang berasal dari kuning telur dinamakan Manikmaya.

Waktu berlalu, ketiga saudara ini tumbuh dewasa menjadi sosok pemuda yang tamvan tampan. Suatu ketika di Kahyangan Jonggrisaloka ada gosip yang sedang hangat diperbincangkan (di khayangan ada gosip juga ternyata). Gosip yang beredar tersebut mebahas mengenai siapa yang pantas untuk menggantikan jabatan sang ayah Sang Hyang Tunggal sebagai raja Jonggrisaloka selanjutnya. Gosip yang beredar tersebut ada dua versi, yang pertama menyebut bahwa yang pantas menduduki tahkta kerajaan adalah Ismaya, karena dia merupakan anak tertampan. Ada juga gosip yang menyebutkan bahwa yang paling pantas untuk menyadang gelar raja Jonggrisaloka sepeninggalan Sang Hyang Tunggal adalah Manikmaya, karena dia anak yang paling kurang diperhatikan sang Ayah, oleh karena itu dia pantas mendapat kebahagian berupa gelar raja. Dalam benak Antaga merasa geli sekaligus kesal, dia geli karena mana ada seorang raja yang diangkat berdasarkan wajah rupawan dan belas kasihan. Dan rasa kesal itu timbul karena dia merasa, di yang lebih pantas menjadi raja Jonggrisaloka daripada keda saudaranya, karena dia merupakan anak sulung.

Antaga yang panas telinganya dengan segala pembicaraan yang terjadi di Jonggrisaloka memutuskan untuk menemui Ismaya dan Manikmaya. Ketika sampai di  tempat untuk menemui kedua saudaranya tersebut Antaga terkejut dengan pemandangan yang ada di depan matanya. Dia terkejut melihat Ismaya sedang menghajar Manikmaya sampai babak belur. Secara spontan Antaga melerai Ismaya dan Manikmaya. Antaga merasa bingung dengan kejadian tersebut dan menanyakan apa yang sedang terjadi.

Dari keterangan Ismaya ternyata hal tersebut terjadi karena Manikmaya dengan sesumbar menyatakan di depan sumua penghuni Jonggrisaloka bahwa dirinya yang pantas menyandang gelar raja selanjutnya. Pernyataan itu membuat Ismaya marah. Menurut Ismaya dialah yang pantas menyandang gelar raja selanjutnya. Mendengar pernyataan Ismaya, Antaga merasa kesal karena Antaga merasa lebih pantas menyandang gelar raja selanjutnya karena dia adalah anak pertama.

Percekcokan antara Antaga dan Ismaya berujung pada pertarungan antara keduanya, Manikmaya yang tidak bisa berbuat apapun karena masih merasakan sakit akibat dihajar sang kakak hanya terdiam melihat kedua kakaknya berkelahi. Selang beberapa saat di tengah pertarungan yang sengit terdengar perintah untuk menghentikan pertarungan, suara tersebut tidak asing bagi mereka, ternyata suara tersebut berasal dari sang Hyang Tunggal.

Melihat para putranya berkelahi memperebutkan takhta, sang Hyang Tunggal memutuskan untuk mengadakan sayembara bagi ketiga putranya.

“Sekarang, aku membuat sayembara untuk kalian. Lihat! Di kejauhan itu, berdiri dengan megahnya sebuah gunung Mahasamun. Siapa pun diantara kalian bertiga yang bisa menelan Gunung Mahasamun dan berhasil memuntahkanya kembali, maka berhak menjadi raja di Khayangan Jonggrisaloka” (Bayuadhy, 2013: 33)

Gunung mahasamun adalah gunung tertinggi di Kahyangan Jonggrisaloka. Antaga mendapat giliran pertama. Dengan kekuatan saktinya antaga mengangkat Gunung Mahasamun yang menjulang tinggi. Ketika gunung sudah diangkat gunung tersebut dibalik, dengan posisi ujung gunung yang berbentuk kerucut menghadap ke bawah, kemudian mulut Antaga terbuka untuk menyongsong gunung yang ada diatasnya.

Setelah setengah bagian gunung masuk ke mulut Antaga, tak disangka gunung tersebut meletus. Letusan gunung tersebut menyebabkan mulut Antaga robek dan hampir seluru gigi Antaga tanggal. Bentuk tubuh Antaga yang awalnya ramping juga membuncit akibat lahar panas letusan Gunung Mahasmum yang memenuhi perut Antaga. Tak lama berselang setelah kejadian tersebut tubuh Antaga tidak sadarkan diri.

Setelah melihat kakanya gagal kemudian Ismaya mendapat giliranya. Belajar dari kesalahan kakaknya Ismaya mencoba cara lain agar gunung tersebut bisa tertelan. Dengan membaca mantra saktinya Ismaya merubah Gunung Mahasamun menjadi kecil, seukuran biji kedelai. Dengan mudah Ismaya menelan gunung tersebut tetapi Ismaya merasa kesulitan untuk memuntahkan gunung tersebut dan akhirnya tubuh Ismaya juga ambruk, karena tidak kuat menahan beban tubuhnya akibat menelan Gunung Mahasamun.

Akibat kejaidan tersebut tubuh Ismaya juga berubah bentuk menjadi bulat akibat Gunung Mahasamun yang ada di perutnya.   Manikmaya tidak bisa menjalankan tantangan tersebut karena gunung tersebut sudah bersemayam di tubuh kakaknya Ismaya.

Melihat kedua anaknya tidak sadarkan diri sang Hyang tunggal membacakan mantra saktinya untuk menyadarkan keduanya. Tidak lama berselang keduanya sadar. Sang Hyang Tunggal pun memberi nasihat pada ketiganya.

“ Perlu kalian ketahui Gunung Mahasamun itu bukan sembarang gunung. Gunung itu melambangkan keserakahan. Antaga kamu ingin menelan gunung itu dengan kesaktianmu, tetapi gagal. Kamu memuntahkan gunung itu dengan kesaktianmu. Kalau kamu tidak sakti gunung itu bisa membuatmu mati, artinya kalau kamu mati keserakahan telah membunuhmu…..kamu telah berhasil menolak lambang keserakahan yang hampir membunuhmu…. Dan kamu akan kebal segala bentuk keserakahan. Sebaliknya Ismaya kamu berhasil menelan lambang dari keserakahan. Artinya Ismaya, kamu telah berhasil memusnahkan segala sifat serakah yang ada pada dirimu” (Bayuadhy, 2013:42)

Ketiga kakak beradik tersebut menghaturkan permohonan ampunya kepada sang Hyang Tunggal. Mereka bertiga sadar bahwa tindakan yang dilakukanya salah, hanya demi memperebutkan takhta mereka sampai rela saling  bertikai satu sama lain.

Permohonan ampun ketiga saudara tersebut di terima oleh sang Hyang Tunggal dan mereka bertiga mendapat nama baru beserta tugas baru menyertainya. Antaga di beri nama Togog Tejamantri,  diturunkan di bumi bagian barat, bertugas untuk membibing para kurawa menuju kebenaran. Ismaya mendapat nama baru Semar, diturunkan di bumi bagian timur, tugasnya adalah untuk membimbing para pandawa agar tetap menuju jalan kebenaran. Anak bungsunya Ismaya ditugaskan untuk menggantikan jabatanya menjadi raja Kahyangan Jonggrisaloka yang menguasai bumi dan dunia siluman, sekaligus dia mendapatkan gelar baru yaitu Batara Guru . 

Untuk mengetahui bagaiamana kisah kelanjutan bagaiamana Togog berjuang untuk membimbing para kurawa yang berwatak murka menuju jalan kebenaran silahkan baca novel karya Gesta Bayuadhy yang berjudul “Togog Tejamantri”. Dengan gaya penulisan bahasa yang mudah dipahami bagi pembaca membuat novel ini betah untuk dibaca berlama-lama.

 

Sumber Baacaan

Bayuadhy, Gesta. 2013. Togog Tejamantri. Yogyakarta: DIVA press

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun