Mohon tunggu...
Sodik Permana
Sodik Permana Mohon Tunggu... Wiraswasta - JnT Cargo

Penikmat filsafat dan penulis pemula yang senantiasa berusaha konsisten dalam belajar sesuatu yang belum terfahami.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Perkara Ilmu, Huduri dan Husuli Perspektif Kita?

22 September 2022   12:29 Diperbarui: 22 September 2022   12:38 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah perkembangan manusia selalu ditandai oleh pemikiran, itu suatu fakta yang tidak bisa kita hilangkan. Realitas kini pun membuktikan bahwa seiring zaman berkembang selalu disebabkan oleh berkembangnya fikiran manusia, barangkali pernah kita dengar baik melalui iklan di televisi atau informasi dari berbagai alat penyebar informasi bahwa beberapa puluh tahun sebelumnya dikatakan jaringan sel otak manusia hanya berjumlah jutaan namun kini sudah berubah dan jumlah jaringan sel manusia sudah mencapai angka milyaran, artinya pengukuran jumlah jaringan sel bertambah karena adanya penemuan baru dan penemuan baru tersebut merupakan hasil berkembangnya ilmu pengetahuan. 

Pembahasan ilmu tidak akan redup dan akan terus bergemuruh di seluruh penjuru dunia, membahas suatu ilmu tentu tidak akan sedangkal dan semudah apa yang kita kira, sempat disampaikan oleh salah satu cendikia kita yang lebih terkenal dengan pesan-pesan ke-ilmu-an melalui jalur budaya yaitu Mbah Sujiwo Tejo bahwa 'mencari ilmu itu butuh kesabaran seperti kita menguras samudera dengan alat apapun, lama-lama samudera itu akan terkuras', ini sebuah silogisme dengan interpretasi yang menunjukan seluas-luasnya samudera itu adalah ilmu dan ketika kita mengurasnya katakanlah hanya menggunakan gayung maka akan butuh berapa lama untuk mengurasnya ? suatu silogisme yang mudah difahami namun akan sangat sulit dilakukan, bukan berarti tidak memiliki arti namun sekuat dan selama apa kita menguras atau mengambil air dari samudera itu maka sebanyak itulah air yang kita dapatkan. 

Saya kira menjadi hal aneh dan tidak mungkin apabila kita seorang muslim yang belum pernah mendengar tentang kewajiban mencari ilmu, kewajiban mencari ilmu bagi kita itu menunjukan bahwa setiap muslim harus cerdas atau berilmu agar beragamanya penuh dengan makna bukan hanya penghayatan semata karena tanpa ilmu niscaya manusia tidak akan tahu apapun. Seperti yang sudah saya sampaikan pada beberapa tulisan sebelumnya bahwa kita harus mensinergiskan ilmu (akal) dan hati (qolbu) agar menjadi manusia yang berjalan dan bisa melihat. 

Secara umum kita fahami bahwa Ilmu adalah sesuatu yang kita ketahui dan bersifat sistematis serta akumulatif, sebenarnya dalam pandangan umum untuk mendefinisikan ilmu itu bisa dikatakan sulit tanpa adanya silogisme yang tepat. Jika kita merujuk pada pandangan islam tentang ilmu dengan berkenaan silogisme bahwa ilmu adalah Cahaya Tuhan dan cahaya itu tidak akan diperkenankan pada orang yang bermaksiat. Suatu definisi yang lebih mudah difahami jika kita berilmu, penggunaan silogisme yang juga membutuhkan interpretasi dari proposisi yang ada, setidaknya kita dapat dengan mudah membayangkan bagaimana ilmu itu jika disandarkan pada diksi 'Cahaya Tuhan'. Ini akan menarik apabila kita adakan pertanyaan bagaimana ilmu diciptakan ? Singkat dari pertanyaan itu adalah bahwa ilmu merupakan pancaran langsung dari Tuhan, ada suatu kalimat 'Aku mencntai diri-Ku maka terciptalah Ilmu' konsep kalimat lain seperti 'Kun Fayakun', artinya ilmu tercipta dengan sendirinya dari pancaran Tuhan, tidak seperti Tuhan menciptakan manusia dan alam-semesta dengan runutan proses alamiah, karena proses alamiah itulah bagian daripada ilmu itu sendiri dan ketika kita memahaminya maka itulah ilmu. Barangkali pemahaman seperti ini pernah kita jumpai dari pemikir islam yaitu Al-Farabi tentang gradasi wujud, memberikan suatu pemahaman bahwa terciptanya sesuatu itu dari pancaran Tuhan yang memiliki degradasi tertentu maka sesuai dengan konsep kausalitas bahwa setiap yang diciptakan adalah mahluk meskipun derajatnya satu level dari Tuhan. 

Ilmu, Akal dan Hati (Qolbu)

Cahaya Tuhan yang kita peroleh adalah dengan akal, dan implementasi dari perolehan itu adalah dengan hati. Dikatakan bahwa akal adalah alam fahaman manusia, ketika kita memahami sesuatu maka itulah akal, artinya begini, Ilmu adalah Cahaya Tuhan yang berdiri sendiri dengan arti diluar wujud manusia itu sendiri, akal adalah ilmu yang ketika diperoleh manusia dengan alat materinya yaitu otak. Maka antara ilmu dan akal adalah satu kesatuan dengan eksistensi yang berbeda, ibarat ketika kita menangkap angin menggunakan kantong plastik atau botol maka angin yang berada dalam plastik atau botol itu tetap angin namun karena keberadaannya sudah didalam plastik atau botol dan kedua benda itu ibarat otak kita, semakin besar alatnya maka semakin banyak angin yang bisa ditangkap, atau bisa juga kita gunakan silogisme lain yang lebih masuk akal. Setelah itu peran daripada hati adalah ketika kita menggunakan botol yang didalamnya ada angin itu untuk apa, maka hati sebagai penentu dalam kita berilmu, jika baik maka ilmu itu akan bermanfaat jika buruk maka akan mendatangkan kemadorotan. 

ilustrasi ilmu dan akal || sumber pribadi
ilustrasi ilmu dan akal || sumber pribadi

Anggap lingkaran biru adalah ilmu yang sangat luas seperti samudera, dan titik-titik hitam adalah serpihan ilmu seperti pengetahuan Fisika, Kimia, Biologi, Zoologi, Bootani, Fisiologi, Psikologi, Mekanika Kuantum dan lain-lain. Ketika kita memperoleh setengah titik-titik hitam itu maka itulah pemahaman kita yang kemudian itu adalah akal, maka tindakan kita dalam menggunakan ilmu tersebut adalah kendali hati. 

Ilmu itu tidak terbatas karena ilmu bukan sesuatu yang materi, ia adalah wujud immateri yang tidak terikat ruang-waktu terhadapnya, begitupun akal kita. Ada yang mengatakan bahwa akal itu terbatas atau memiliki batasan, hal ini tidak bisa kita fahami begitu saja karena ada interpretasi dalam memahaminya, dikatakan keterbatasan akal itu adalah kebelum tahuan kita, apabila hal itu sudah diketahui maka batasan itu akan hilang pun seterusnya. 

Kemudian interpretasi lainnya adalah dikatakan terbatas ketika ada sesuatu yang tidak bisa dikenali hanya oleh akal kita dan itu bisa diketahui oleh hati kita, seperti perasaan sedih, bahagia, sakit dan lain-lain, kemudian perkara percaya dan yakin terhadap sesuatu yang itu tidak bisa kita nisbatkan pada akal semata, maka batasan ini jika kita menggunakan hati maka batasan itu akan hilang karena sudah terketahui atau dirasakan yang kemudian berdampak suatu tindakan kita. 

Dalam satu interpretasi bisa dikatakan bahawa berilmu dan berakal merupakan hal yang sama, namun dengan pemahaman kita tentang keberadaan eksistensinya, seperti antara substansi dan aksiden bahwa aksiden merupakan substansi itu sendiri dengan keberadaan yang berbeda, bisa juga kita katakan bahwa keduanya sama tidak memiliki perbedaan walau secara keberadaan eksistensinya. Itulah mengapa ketika sesuatu yang immateri memiliki serangkaian interpretasi karena keberadaan nya yang di fahami oleh sesuatu yang memiliki kedua wujud (materi dan immateri) yaitu kita manusia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun