Mohon tunggu...
Agus Priyanto
Agus Priyanto Mohon Tunggu... Freelancer - sodarasetara

----

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kebijakan Neoliberal Sri Mulyani Hancurkan Optimisme Jokowi & Visi Trisakti-Nawacita

24 Juni 2017   11:01 Diperbarui: 24 Juni 2017   21:43 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://twitter.com/bima_____/status/878278435822387200

Sejak beberapa hari terakhir, pemberitaan di media diramaikan dengan rumor reshuffle kabinet yang kabarnya akan dilakukan paska lebaran nanti. Kabar tentang bakal dilakukannya reshuffle kabinet Jokowi ini memang sebelumnya telah banyak beredar di kalangan relawan Jokowi yang menganggap bahwa ada situasi kritis bagi presiden Jokowi di sisa masa jabatannya hingga 2019.

Tak dapat dipungkiri bahwa sejak dimulainya proses pilkada serentak tahun 2017 ini, khususnya yang berkaitan dengan pilkada DKI Jakarta, energi pemerintahan Jokowi lebih banyak dikonsentrasikan di Ibukota. Hampir selama 8 bulan, konsentrasi kerja sebagian besar jajaran kabinet Jokowi diabdikan untuk menanggulangi berbagai efek domino dari 'perjudian politik' cagub Ahok. Sebagai akibatnya, selama kurun waktu tersebut dan setelahnya, publik seolah menganggap bahwa visi Presiden Jokowi untuk mewujudkan visi Trisakti dan Nawacita hanya dikerjakan sendirian oleh Presiden Jokowi.

Kini, meskipun efek domino dari 'perjudian politik' dari kalangan dalam pemerintahan Jokowi terhadap Ahok sudah mulai menurun, tetapi di masa waktu 2 tahun menuju Pemilu 2019, menurut sebagian besar kekuatan relawan pendukung utama Presiden Jokowi, elektabilitasnya masih cukup mengkhawatirkan.

Kekawatiran sebagian besar kekuatan relawan pendukung utama Presiden Jokowi tersebut memang tidak dapat diabaikan. Jika kita melihat kembali Visi Trisakti dan Nawacita yang menjadi arah dan orientasi pemerintahan Jokowi pada Pemilu 2014 yang lalu, dalam 1 tahun terakhir (sejak reshuffle kabinet Juli 2016) terlihat mulai menghadapi berbagai hambatan.

Hambatan utama untuk mewujudkan visi atau jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian tersebut justru muncul dari berbagai kebijakan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang masuk dalam kabinet Jokowi pada reshuffle 1 tahun yang lalu. Kebijakan Sri Mulyani yang mengandalkan pengetatan anggaran, pencabutan subsidi, 'pemalakan pajak' bagi UMKM; justru membuat kantong-kantong suara dominan pendukung Presiden Jokowi menjadi terpukul. Latar belakang Jokowi yang merupakan bagian dari pelaku usaha kecil di Indonesia ini tentu sangat bisa memahami apa yang dialami oleh pelaku industi kecil/UMKM dan pelaku usaha sektor informal lainnya yang menjadi korban kebijakan Sri Mulyani.

Optimisme Presiden Jokowi kandas ditangan Sri Mulyani

Kondisi ekonomi nasional dalam kurun waktu 1 tahun terakhir juga belum menunjukkan optimisme seperti yang diharapkan oleh Presiden Jokowi. Target presiden Jokowi agar pertumbuhan ekonomi tahun 2017 mencapai 5,3 persen, oleh Sri Mulyani pada Januari 2017 yang lalu justru hanya dipatok 5,1%. Tak berhenti disitu, target pertumbuhan ekonomi 2018 yang dikejar Presiden Jokowi diatas 6% juga masih dipotong oleh Sri Mulyani menjadi sekitar 5,2 % hingga 5,6 %.

Menurut penelitian Gede Sandra dari Lingkar Studi Perjuangan (LSP), penerimaan pajak tahun 2016 sebenarnya malah turun. Menurut Gede Sandra, apabila tidak mengikutkan tax amnesty, pendapatan pajak 2016 adalah sebesar Rp 998 triliun, atau sekitar 73,6% dari target APBN Perubahan 2016 sebesar Rp 1.355 triliun. Sementara setahun sebelumnya, 2015, total pendapatan pajak adalah sebesar Rp 1.060 triliun, atau sekitar 81,9% dari target APBN Perubahan 2015 sebesar Rp1.294 triliun.

Masih menurut Gede Sandra dari LSP, posisi utang luar negeri pemerintah Indonesia mengalami kenaikan cukup signifikan. "Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko, di tahun 2015 utang pemerintah adalah sebesar Rp 3.165 triliun. Kini (posisi Januari 2017), utang pemerintah sudah berada di posisi Rp 3.549 triliun, atau naik Rp 384 triliun", ungkap Gede Sandra

Gede Sandra juga mengungkapkan bahwa ekonomi nasional saat ini juga masih mengalami stagnasi. "Memang pertumbuhan PDB Indonesia kuartal I 2017 sebesar mengalami peningkatan 0,09% bila dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun 2016. Namun bila dibandingkan kuartal sebelumnya, terjadi penurunan sebesar -0,34%. Sehingga dapat dibilang telah terjadi stagnasi ekonomi", ungkap Gede Sandra dalam opininya di kedaipena.com pada 22 Mei 2017 yang lalu.

"Investor pun merespon stagnasi ekonomi ini dengan mengurangi investasi mereka di Indonesia.Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan bahwa pertumbuhan investasi asing langsung/foreign direct investment (FDI) sebesar 0,9% sepanjang kuartal pertama tahun 2017 adalah yang paling lambat dalam lima tahun terakhir", lanjut Gede Sandra.

Dari sisi daya beli rakyat, menurut penelitian Gede Sandra juga mengalami kemerosotan. "Biro Pusat Statistik (BPS) mengumumkan upah riil harian buruh tani mengalami kenaikan 0,62%. Sedangkan upah riil buruh bangunan (tukang bukan mandor) malah mengalami penurunan sebesar -0,07%. Jadi pertumbuhan 5% tidak dirasakan oleh kelas rakyat tersebut, tidak cukup tingkatkan kesejahteraan mereka" ungkap Gede Sandra lagi seperti yang dilansir dalam opininya di kedaipena.com, 22 Mei 2017

Kebijakan pencabutan subsidi TDL terhadap 18,7 juta pelanggan listrik 900 VA sejak Januari hingga Mei 2017 lalu, jelas berdampak langsung terhadap sekitar 56,1 juta suara dukungan presiden Jokowi di Pemilu 2019 nanti. 56,1 juta suara yang terdampak secara langsung akibat pencabutan subsidi TDL tersebut tentu saja jumlah yang sangat signifikan.

Jika dikonversi terhadap jumlah DPT Pelpres 2014 yang totalnya 190.307.134 pemilih, 56,1 juta Rakyat Indonesia yang menjadi korban pencabutan subsidi TDL 900VA tersebut setara dengan sekitar 30% suara dukungan terhadap Presiden Jokowi berpotensi hilang atau berpindah. Jumlah suara yang benar-benar sangat signifikan jika diabaikan dalam penggalangan dukungan menuju pemilu 2019. 56,1 juta penduduk terdampak langsung kebijakan pencabutan subsidi tersebut, menurut sebagaian besar kekuatan utama relawan pendukung Jokowi hampir setara dengan memenangkan hati dan suara rakyat di 3 provinsi dengan jumlah pemilih terbanyak (Jabar dengan DPT sekitar 38 juta pemilih, Jateng dengan DPT menurut Pilpres 2014 sekitar 27 juta pemilih dan Jatim dengan DPT sekitar 32 juta pemilih) yang akan menyelenggarakan Pilkada Serentak 2018.

Di tengah situasi kritis yang kini tengah dihadapi oleh Presiden Jokowi di sisa masa pemerintahan untuk wujudkan legacy sebagai modal untuk Pemilu 2019, rencana dilakukannya reshuffle kabinet harus benar-benar diletakkan sebagai evaluasi kebijakan dan keberpihakan ideologis dari jajaran menteri-menteri kabinet Jokowi selama 1 tahun terakhir. Sejarah telah mencatat bahwa dukungan politik kepada presiden Jokowi pada Pelpres 2014 dilandasi oleh ideologi kerakyatan sehingga mampu mendorong partisipasi aktif gerakan relawan rakyat. Jika jalan ideologi kerakyatan (Trisakti dan Nawacita) ini kembali dikhianati, bukan tidak mungkin Rakyat Indonesia di kemudian haru bakal memiliki penilaian yang sama bahwa pemerintahan Jokowi tidak lebih baik dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya yang 'takluk' terhadap tekanan kekuatan Neoliberal dan oligarkhi partai politik.

Agus Priyanto, Aktifis Pergerakan mantan Sekjend LMND

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun