Mohon tunggu...
SNF FEBUI
SNF FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Badan Semi Otonom di FEB UI

Founded in 1979, Sekolah Non Formal FEB UI (SNF FEB UI) is a non-profit organization contributing towards children's education, based in Faculty of Economics and Business, Universitas Indonesia. One of our main activities is giving additional lessons for 5th-grade students, from various elementary schools located near Universitas Indonesia. _________________________________________________________ LINE: @snf.febui _________________________________________________________ Instagram: @snf.febui ____________________________________________________ Twitter: @snf_febui _______________________________________________________ Facebook: SNF FEB UI ____________________________________________________ Youtube: Sekolah Non Formal FEB UI ______________________________________________________ Website: snf-febui.com ______________________________________________________ SNF FEB UI 2020-2021 | Learning, Humanism, Family, Enthusiasm | #SNFWeCare

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pandemi COVID-19: Batu Loncatan Kekerasan Seksual pada Anak

27 Desember 2021   12:59 Diperbarui: 27 Desember 2021   20:23 1184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selain itu, mengutip dari laman Tempo dan CNN Indonesia, kasus kekerasan seksual pada anak menjadi kasus tertinggi, bahkan melampaui jenis kekerasan pada anak lainnya [8]. Berikut merupakan tabel peningkatan kasus dari tahun ke tahun :

Tabel 1. Jumlah Kasus Kekerasan Seksual pada Anak dari 2019-2021
Tabel 1. Jumlah Kasus Kekerasan Seksual pada Anak dari 2019-2021
Deputi Bidang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar, menyebut, selama pandemi, sistem informasi online (Simfoni) perlindungan perempuan dan anak mencatat ada lebih dari enam ribu laporan bentuk kekerasan terhadap anak. Angka kekerasan tersebut hanya merupakan kasus yang terlapor di laman pengaduan Simfoni milik KemenPPPA dan/atau yang tercacat oleh berita. Dengan begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa angka kekerasan seksual pada anak bisa jauh lebih tinggi daripada yang telah dilaporkan. Dari kedua sumber tersebut, dapat disimpulkan bahwa kasus kekerasan seksual bukan hal yang kecil untuk ditangani. 

Menurut temuan KemenPPPA di lapangan, beberapa kasus kekerasan seksual pada anak terjadi karena faktor kesulitan ekonomi, kurangnya pengawasan orang tua, dan juga adanya kebutuhan lain dari anak misalnya untuk kehidupannya di sekolah. Kasus kekerasan seksual ini tidak hanya terjadi pada lingkungan keluarga, tetapi juga pada institusi pendidikan. Mirisnya lagi, salah satu institusi tersebut adalah institusi berbasis agama yang, pada faktanya, mendalilkan pelanggaran norma keasusilaan adalah sebuah perbuatan dosa. Korban kekerasan seksual rata-rata adalah anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan di bawah 18 tahun. Bahkan, ada yang masih berumur 7 tahun dan kasus tersebut ditemukan pada Pondok Pesantren Jembrana, Provinsi Bali. Di Trenggalek, ditemukan kasus pencabulan terhadap santriwati sebanyak 34 orang. 

Kasus pedofilia terhadap anak laki-laki banyak ditemukan di Bantul, Sidoarjo, Jembrana, dan Solok. Pedofilia sendiri adalah seorang yang melakukan kekerasan seksual, biasanya laki-laki yang sudah dewasa berumur antara 30-45 tahun, yang mempunyai kelainan mental, bersifat psikopat, alkoholik, dan bertingkah asusila terhadap anak-anak [6]. Berdasarkan informasi yang diketahui, korban pedofilia terbesar berada di pesantren Ogan Komering Ilir, yaitu sebanyak 30 santri dan biasanya dilakukan berkali-berkali dalam  lebih dari setahun. Kasus tersebut tentunya sangat merugikan anak, baik secara psikis maupun fisik [9].

Tembok Hukum yang Masih Diragukan

Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ada 419 kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) karena menjadi korban kekerasan seksual pada 2020.

Gambar [2]. Anak Berhadapan Hukum (ABH) sebagai Korban Menurut Kasus (2020)
Gambar [2]. Anak Berhadapan Hukum (ABH) sebagai Korban Menurut Kasus (2020)
Lantas, pada tahun 2021, kasus kekerasan seksual yang menjerat seorang artis bernama Saiful Jamil kembali menjadi sorotan karena sang pelaku akhirnya resmi dibebaskan dari hukumannya. Artis tersebut dijerat dengan Pasal 292 KUHPidana tentang perbuatan cabul dan dijatuhi hukuman 5 tahun penjara [6]. Penjatuhan pidana tersebut belum tentu seimbang dengan dampak yang ditimbulkannya, yakni korban yang masih anak-anak bisa mengalami trauma berkepanjangan hingga dewasa bahkan seumur hidupnya. Tidak jarang, korban setelah dewasa bisa menjadi pelaku tindak pidana kekerasan seksual juga akibat rasa dendam yang timbul di masa kecilnya.

Maka dari itu, seiring berjalannya waktu, diterbitkan pula Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 terkait Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa “terhadap pelaku sebagaimana disebutkan dalam ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik”. Hukum kebiri ini menjadi upaya hukum baru terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak agar dapat memberikan efek jera. Namun, pada kenyataannya, hukuman ini masih mengundang pro dan kontra di berbagai kalangan, salah satunya Komnas Perempuan sendiri yang menyayangkan hukuman kebiri dan hukuman mati tetap masuk sebagai bentuk hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual, terutama di saat Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui UURI No. 5 Tahun 1998 yang melarang segala bentuk penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan/atau merendahkan martabat kemanusiaan. 

Selain melihat hukuman bagi sang pelaku, bentuk perlindungan hukum bagi sang anak juga tidak kalah penting. Upaya yang dilakukan, seperti memberikan bantuan hukum, rehabilitasi, dan pencegahan masih perlu dioptimalisasi. Hal ini terlihat dari anak sebagai korban kekerasan seksual belum sepenuhnya mendapatkan bantuan hukum pada tingkat penyidikan, penuntutan, sampai pada tingkat peradilan karena masih sering terabaikan dan tidak didampingi oleh penasehat hukum [12]. Selain itu, belum optimalnya rehabilitasi yang diberikan kepada anak juga terlihat dari kondisi anak yang masih menyisakan trauma yang berkepanjangan. Terakhir, pencegahan yang belum efektif terbukti dari jumlah anak yang menjadi korban kekerasan seksual yang dari tahun ke tahun semakin meningkat [9].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun