Mohon tunggu...
Sarah Naura Irbah
Sarah Naura Irbah Mohon Tunggu... Dokter - FKUI 2014

In-Memory Processing

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Hipertensi, Keping Domino Pertama yang Jatuh

6 September 2017   10:50 Diperbarui: 7 September 2017   22:17 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Hipertensi, merupakan sebuah kata yang sudah lagi tidak awam terdengar di telinga kita hingga saat ini kebanyakan orang mengaggap itu adalah hal yang biasa terjadi. Masyarakat tentu paham dan mengenali apa itu hipertensi, yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah dengan nilai sistol 140mmHg atau lebih dan nilai diastol 90mmHg atau lebih. Tentu juga sudah menjadi pengetahuan umum bahwa hipertensi dapat timbul akibat diturunkan (herediter) maupun didapat melalui gaya hidup. Hipertensi merupakan penyakit epidemik yang mendunia. Secara global, terdapat estimasi bahwa sekitar 26% dari populasi dunia mengalami hipertensi dan ada kecendrungan untuk terus meningkat hingga 29% pada tahun 2025.[1] Tak hanya berhenti sampai disitu saja. Penyakit hipertensi merupakan penyakit yang bersifat kronik dan degeneratif, artinya ia akan semakin memburuk dengan bertambahnya usia seseorang. Apabila dikontrol dengan sufisien dan teratur, kemungkinan terjadinya perburukan hipertensi dapat diminimalisir. Namun, apabila dibiarkan melarut, ia akan menjadi momok yang ditakuti oleh seluruh populasi di dunia. Mengapa? Karena komplikasi dari hipertensi-lah yang dapat meningkatkan mortalitas dan menjadi silent killer, juga menjadi penyebab 7.5 juta kasus atau sekitar 12.8% kematian terbesar di dunia saat ini.[2] Adapun komplikasi dari hipertensi antara lain penyakit jantung, end-stage renal disease, stroke, dan nefropati diabetik.[3]

Berdasarkan uraian singkat di atas, dapat diketahui bahwa hipertensi merupakan akar dari segala penyakit metabolik yang marak terjadi saat ini. Ia merupakan keping domino yang pertama kali jatuh, mendorong kepingan lainnya untuk jatuh bersamanya, dan berprogresi tanpa henti hingga akhirnya seluruh keping bersama-sama memiliki nasib yang naas. Sungguh mengerikan. Mengerikan karena kita takkan pernah mengetahui siapa musuh yang sebenarnya. Bila kita berbicara mengenai penyakit DBD, Polio, Zika, dsb tentu dengan penanggulangan berupa vaksin, ataupun sejenisnya, dapat mengurangi kemungkinan outbreak yang akan terjadi. Kita dapat mengidentifikasi musuh kita dengan jelas, yakni virus yang dengan sendirinya juga akan bersifat self-limiting. Namun apabila kita berbicara mengenai hipertensi, lantas siapa yang sebenarnya menjadi musuh kita? Apakah makanan yang kita konsumsi? Apakah beban pikiran yang membawa stress pada kita? Atau pola hidup yang tidak sehat? Siapa sesungguhnya yang menjadi musuh kita dalam perang ini?

KONDISI UMUM

Berdasarkan hasil studi, didapatkan bahwa prevalensi pengidap hipertensi di Indonesia adalah 25.8% dari jumlah populasi >18 tahun namun 10% dari penderita tersbut tidak mengetahui bahwa dirinya mengidap hipertensi. Prevalensi hipertensi yang berlanjut menjadi komplikasi antara lain 12.1% menjadi stroke, 1.5% penyakit jantung, 0.2% menjadi penyakit ginjal.[4] Lebih parahnya, data yang menunjukkan angka kematian akibat hipertensi yakni sebesar 6.7%, menempati urutan ketiga setelah stroke (komplikasinya) dan tuberkulosis.[5] Tak dipungkiri lagi bahwa hipertensi merupakan silent killer yang dapat membunuh siapa saja melalui proses yang perlahan. Sekarang pertanyaannya adalah, mengapa angka kejadian hipertensi masih tergolong sangat tinggi di Indonesia? 

Jika kita bandingkan dengan negara-negara di Asia, dapat diketahui bahwa Indonesia menempati peringkat ke-2 setelah Myanmar.[6] Mari kita mengaca pada negara China, salah satu negara berkembang yang secara demografis mirip komposisinya dengan negara kita. Selain permasalahan mengenai ledakan populasi, China juga memiliki permasalahan dalam menanggulangi penyakit hipertensi. Masyarakat China sangat gemar mengkonsumsi makanan yang gurih (mengandung banyak garam). Bahkan salah satu studi menyatakan bahwa rerata asupan garam di China yakni sekitar 12g per hari, melebihi standar yang telah ditetapkan oleh WHO yang hanya 5g. Fenomena tersebut mendorong para stakeholder kesehatan di China untuk mengambil tindakan sesegera mungkin. Pada tahun 2009, China telah menetapkan kebijakan nasional untuk dapat mereduksi asupan garam sebesar 9g perhari hingga tahun 2015 melalui program the China Salt Substitute and Stroke Study (SSaSS) untuk dan kebijakan monopoli supply garam yang beredar.[7,8]

Saudaraku, bangsa kita adalah bangsa yang besar! Tak sayang kah kita melihat angka-angka di atas? Melihat kualitas negara kita dibandingkan dengan negara lain yang sesama berkembang? Tak hanya aspek pendidikan, kesejahteraan, serta aspek ekonomi saja yang menjadi peran utama kemajuan sebuah bangsa, namun aspek kesehatan lah yang menjadi dasar fundamental terciptanya harmonisasi dari integrasi aspek-aspek tersebut. Lantas, langkah apa yang seharusnya kita, bangsa Indonesia, lakukan untuk dapat memperbaiki masa depan bangsa? Tentu hal ini tak lepas dari peran pemerintah dan kesadaran rakyatnya.

PEMERINTAH

Tuan-tuan dan puan-puan yang terhormat, saya percaya bahwa pengampu kebijakan terkait sudah dengan sangat matang merumuskan pelbagai solusi untuk mengakhiri perang bisu ini. Saya juga sudah mengetahui bahwa baru-baru ini Anda telah menggalakkan program ‘CERDIK’ yang terdiri dari Cek kesehatan secara rutin, Enyahkan asap rokok dan polusi udara lainnya, Rajin aktifitas fisik, Diet sehat, Istirahat cukup, dan terakhir Kendalikan stress yang sifatnya wajib diimplementasikan di unit masyarakat terkecil.[9] Namun, bolehkah saya bertanya sampai sejauh program ini telah terlaksana? Bila program tersebut telah diimplementasikan dengan baik, lantas mengapa 76% kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis?[10] Apakah seluruh usaha tersebut sudah dilakukan secara merata di seluruh pelosok Indonesia? Bagaimana pemantauan dan sistem kontrol dari stakeholder kepada jenjang unit kesehatan yang berada di bawahnya? Tuan-tuan dan puan-puan, seperti yang kita tahu bahwa negara-negara berkembang di sekeliling kita sudah secara tegas mampu mengimplementasikan kebijakan pengendalian hipertensi dengan konsisten. Akankah negara kita akan menganut solusi tersebut? Ataukah ada kebijakan lain yang nantinya akan ditetapkan dalam waktu dekat?

KITA, RAKYAT

Untuk masyarakat Indonesia tersayang, tak akan berartilah keluh kesah pemerintah apabila kita, sebagai sasaran dari kebijakannya, tidak secara aktif berpartisipasi dan berkontribusi untuk menyukseskan rancangan yang telah dibuat. Berdasarkan studi, terdapat sekitar 70% penderita hipertensi yang cenderung tidak peduli dengan kondisinya karena hipertensi tak menimbulkan gejala. Bagaimana bisa sesorang tak peduli dengan kesehatannya sendiri? Sekali lagi saya tekankan, masa depan bangsa bergantung pada masa depan rakyatnya. Saya tidak akan secara gamblang memaksa saudara sekalian untuk menunjukkan sikap awareness mengenai masalah ini. Yang saya ingin tanyakan hanyalah, masa depan seperti apa yang saudara semua ingin rangkai untuk bangsa Indonesia?

Pustaka:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun