Mohon tunggu...
San Soul
San Soul Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mulai menghadapi kenyataan, dan kehilangan mimpi masa kecilnya tentang Matahari di malam hari -___- Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Golput Berencana pada Pemilu 2014

7 April 2014   07:13 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:58 1040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perkembangan Pemilu di Indonesia masih berkutat mengenai tingginya angka Golput yang meningkat setiap dilaksanakannya Pemilu. Tingkat Persentasi golput mulai mengkhawatirkan serta rendahnya partisipasi rakyat dan legitimasi hasil Pemilu itu sendiri.

Dalam setiap Pemilu yang terjadi, baik Pemilu Kepala Daerah, Legislatif, maupun Presiden, selalu ada fenomena yang dinamakan kaum ‘Golongan Putih (Golput)’. Golput atau golongan putih dalam bahasa Inggrisnya adalah abstain yaitu tindakan untuk tidak memilih dengan tidak menggunakan suaranya dalam pemilihan umum.

Sehingga ada suatu jargon di dalam masyarakat, bahwa yang biasanya memenangkan Pemilu adalah Partai Golput. Secara ekonomi kaum golput merugikan negara dari segi pemborosan dan anggaran Pemilu yang terbuang sia-sia, kemudian jika golput tidak mendapat perhatian khusus, di takutkan akan menjadi sumber ancaman bagi keamanan dan kepentingan nasional di masa mendatang.

Menurut sumber yang didapatkan Penulis, ternyata angka Golput sejak Pemilu 1971 dilaksanakan hingga 2009 mengalami kenaikan yang signifikan. Pada Pemilu 1971   :  6.64 %, 1977   : 8.40 %, 1982   : 8.53 %, 1987   : 8.39%, 1992   : 9.09 %, 1997   : 9.42 %, 1999   : 10.21 %, 2004   : 23.34 %, 2009   : 39.1%.

Penyebab Golput

Belajar dari Pemilu-Pemilu sebelumnya, ada banyak alasan pemilih untuk golput pada setiap dilaksanakannya Pemilu baik Pemilu Kepala Daerah dan Pemilu Nasional. Dari banyak alasan tersebut, ternyata ada orang yang ingin memilih pada hari pemilihan tetapi tidak terakomodasi oleh sistem. Mahasiswa misalkan, rata-rata usia mahasiswa telah melewati batas minimum untuk dapat berpartisipasi politik secara aktif menurut UU yang berlaku, tetapi golput, kenapa?

Ada anggapan, bahwa mahasiswa kebanyakan bersikap apolitik dan apatis terhadap Pemilu. Bantahannya, justru banyak mahasiswa yang sadar politik dan ingin memilih. Pada Pileg 9 April mendatang, kampanye dan iklan untuk tidak golput dalam Pemilu sudah sangat sering terdengar.

Kenyataan mengenai mahasiswa golput adalah pada hari Pemilihan mahasiswa tidak memiliki surat undangan memilih dan tidak terdaftar pada TPS dimana ia berdomisili. Anggaplah kampus sebesar UI, ITB, IPB, UGM, dan kampus-kampus lainnya didominasi oleh pendatang yang berasal dari luar daerah dan luar pulau untuk menuntut ilmu di kampus-kampus tersebut. Mungkin jumlah mahasiswa secara nasional tidak ­ter-update yang menjadi anak kost dan tidak tinggal bersama orangtua dan keluarganya. Belum lagi Perguruan Tinggi Nasional (PTN), Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK), dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia.

Para mahasiswa ini, seolah-olah menjadi kontributor tetap dalam angka golput secara nasional. Sedangkan, pada Pemilu mendatang libur nasional untuk Pemilu hanya satu hari saja dan itu pada saat weekdays ( Rabu, 9 April 2014), sehingga hal yang mustahil untuk dapat kembali ke kampung halaman dan mengikuti Pemilu. Pada keadaan ini, mahasiswa akan golput secara sengaja dan sadar.

Padahal, para mahasiswa ini adalah rata-rata semuanya pemilih pemula yang pada waktu-waktu sebelumnya kebanyakan belum pernah berpartisipasi secara langsung dalam Pemilu (ikut mencoblos). Pendidikan politik salah satunya dengan partisipasi dalam Pemilu sangat penting untuk membangun kepedulian terhadap bangsa.

Kerugian Ekonomi

Pada tahun Pemilu 9 April 2009 saja ada sekitar 66 juta masyarakat dari total sekitar 171 juta masyarakat yang terdaftar dalam DPT tidak menggunakan hak nya alias Golput. Jika mengitung kerugian yang ditimbulkan tingginya angka Golput ini tentu saja seolah-olah membuang-buang anggaran APBN dalam pencetakan surat suara.

Pada Pemilu 2009 misalnya, ternyata setiap orang yang terdaftar dalam DPT telah disediakan oleh KPU kertas surat suara untuk Pemilih pada Pemilu Legislatif dan Eksekutif/Presiden. Tentu saja parah Pemilih yang terdaftar di DPT dan memenuhi persyaratan untuk memilih telah disiapkan surat suara untuk digunakan pada saat Pemilu sebagai bentuk tanggungjawab negara terhadap rakyatnya.

Pada Pemilu Legislatif saja, asumsikan bahwa untuk mencetak surat suara yang terdiri dari banyak gambar dari calon anggota legislatif yakni DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota yang ukurannya sama dengan poster besar yang sering menjadi bonus majalah-majalh remaja, membutuhkan Rp500,- (lima ratus rupiah) untuk mencetak dengan kualitas yang baik, maka angka ini dikalikan jumlah Pemilih Golput pada Pileg saja: 66.000.000 orang X Rp500,- = Rp33.000.000.000,- (tiga puluh tiga milyar rupiah). Angka ini akan dua kali lipat jika digabungkan dengan pencetakan surat suara pada Pemilu Presiden sehingga angkanya menjadi Rp33.000.000.000,- X 2 = Rp66.000.000.000,- (enam puluh enam milyar rupiah). Sebenarnya angka ini masih sangat jauh dari kerugian yang sebenarnya, karena belum termasuk biaya distribusi surat suara yang sanga kompleks, kemudian gaji untuk pekerja dalam pembuatan surat suara misalkan para pelipat kertas surat suara dan lainnya.

Sebenarnya, jika saja setiap tahun angka golput dapat diprediksi, pemerintah tidak perlu mencetak surat suara bagi para golputers yang anggarannya bisa dialihkan pada pembangunan infrastruktur nasional, misalkan untuk pemerataan pendidikan di daerah-daerah terpencil.

Perbaikan Sistem

Golput sudah seharusnya tidak menjadi polemik dalam sistem pemilihan umum negara ini. Jika saja, penyelesaian permasalahan dapat dilakukan secara komprehensif langsung fokus masalah penyebab golput.

Faktor penyebab golput harus diidentifikasi, dan penyelesaiannya tidak dapat diterapkan secara universal hany dengan sosialisasi dan iklan politik saja. Terlepas siapa calon anggota legisatif mendatang dan calon presidennya, setiap orang yang terdaftar dalam DPT wajib untuk memilih.

Lalu, jika di negara maju ada sanksi administrasi bagi penduduk yang golput ada saat Pemilu, untuk saat ini yang paling dirugikan adalah para mahasiswa yang sengaja golput karena tidak terakomodir di dalam sistem. Lagi-lagi, metode yang digunakan untuk menyelesaikan masalah ini dalam penelitian harus secara kualitatif sehingga dapat menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru.

*) Ditulis untuk menolak golput!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun