Mohon tunggu...
Humaniora

Mata Tertutup, Dunia Terbuka

16 Agustus 2018   21:57 Diperbarui: 16 Agustus 2018   22:38 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak pernah aku bayangkan sebelumnya, bahwa pekerjaan yang amat sederhana bisa menjadi rumit jika dilakukan tanpa mengandalkan mata. Namun kenyataan ini yang terjadi, pengalaman 120 menit aku merasakan secuil kehidupan kaum tuna netra.

Beberapa waktu lalu aku mengikuti program pertukaran pelajar di Negeri Formosa. Aku dan teman -- teman peserta berkesempatan untuk mengenal lebih dekat keseharian kaum disabilitas dengan gangguan pada indra penglihatan, atau disebut dengan tuna netra. Mengunjungi sebuah perusahaan berbasis social enterprise, yang mana produk -- produknya dikemas dalam bentuk experience.

Ditantang untuk masuk ke dalam Dark Museum, sebuah ruang gelap yang kami pun tidak tahu apa isinya, apa yang akan terjadi di dalamnya, dan berapa lama kami harus tinggal di dalamnya. Masing -- masing dari kami hanya dibekali tongkat tuna netra dan diajarkan cara menggunakannya.

Takut, adalah yang aku rasakan saat menjadi orang pertama yang masuk ke dalam ruang gelap itu. Aku berusaha berjalan selurusnya dan menggunakan tongkat sebenar -- benarnya, namun perasaan takut menabrak atau tersandung sesuatu gak hilang juga. Syukur, setelah memberanikan diri berjalan beberapa langkah, ada suara -- suara ramah menyambutku. Kukira mereka asisten untuk membimbing seluruh pengunjung di dalam ruangan ini. Salah satu dari mereka menuntunku untuk membentuk barisan, setelah itu ia pergi untuk melakukan hal yang sama kepada orang kedua, ketiga, dan seterusnya.

Selama menunggu seluruh peserta tiba di ruangan, aku mengobrol dengan peserta lain untuk menghilangkan rasa takut dan membunuh waktu. Kami saling menertawakan dan bertukar perasaan berada di dalam ruangan asing ini. Beberapa lama setelah seluruh peserta berada di dalam ruangan, seseorang memperkenalkan diri sebagai pemandu utama, dan kami diminta untuk menjaga ketenangan. Seketika itu rasanya langsung hampa bagiku. Kegelapan itu berubah sepi, sunyi, monoton, membosankan. Ingin rasanya aku meminta agar lampu segera dinyalakan.

Singkat cerita, setelah menjalani waktu hening, kami dipecah ke dalam beberapa kelompok besar berisikan 10 orang. Aku yang takut gelap cuma bisa memegang erat lengan temanku dan ikutan dia berjalan mencari kursi. Lucunya, di saat yang teman yang lain sudah duduk di lingkaran kelompok, kami gak berhasil mendapatkan kursi kosong sehingga ujung -- ujungnya kami berdua diarahkan oleh asisten yang super sabar dan cekatan.

Ternyata setiap kelompok harus melakukan beberapa aktivitas dari Si Pemandu Utama, masing -- masing aktivitas akan dipimpin oleh seorang anggota kelompok secara bergiliran, dan masing -- masing kelompok dibantu oleh seorang asisten. Aktivitas yang dimaksud ini adalah menyusun menara dari potongan balok, di mana setiap anggota kelompok memiliki sebuah balok; menulis kalimat di atas kertas secara bergantian; dan membuat simpul persegi dari seutas tali. Sekilas, rasanya gampang sekali semua aktivitas ini, kan? Seharusnya setiap aktivitas bisa dikerjakan tidak lebih dari lima menit. Tapi tentu saja lampu tidak akan dinyalakan dan kami harus mengerjakannya di dalam kegelapan total.

Satu demi satu aktivitas kami lewati dan sama sekali tidak terasa telah menghabiskan waktu dua jam di dalam ruangan ini. Saat memasuki kembali ruangan itu (dalam keadaan terang tentunya), ternyata ada beberapa imajinasiku yang keliru. Saat gelap, aku merasa ruangannya sangat besar dan memiliki lorong panjang. Tetapi sebenarnya, ruangan ini tidak sebesar yang kubayangkan dan tidak ada lorong sama sekali.

Ah, mungkin seperti ini juga yang dialami oleh para penyandang tuna netra. Merasa bahwa dunia amat besar dan dirinya amat kecil. Imajinasi bebas berkarya, tapi tidak selalu menuntun kepada kebenaran. Butuh banyak adaptasi sehingga tidak cepat membuat persepsi dan asumsi terhadap seseorang atau sesuatu, sehingga selamanya menghargai proses pembelajaran.

Aku pun mengingat saat -- saat mengerjakan aktivitas kelompok tadi. Aku memahami bahwa kami semua dituntut untuk berpikir lebih keras, menemukan cara yang tidak biasa untuk mengerjakan hal biasa. Di satu sisi, aku menyadari betapa pentingnya peranan mata bagi orang normal, dengannya kita dapat bekerja dengan instan dan mudah, dan aku amat bersyukur. Namun di sisi lain, merasa 'tersentil' karena kreatifitas dan pola pikir out of the box kaum tuna netra sangat terasah dengan adanya keterbatasan yang mereka miliki. Lebih dari itu, tiadanya mata memaksa telinga bekerja berkali lipat lebih baik dibandingkan biasanya. Serius aku mengalaminya, menjadi pendengar yang lebih baik selama dua jam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun