Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rakyat Indonesia Lebih Menderita, Tetapi Tak Rusuh Seperti di Amerika

3 Juni 2020   09:24 Diperbarui: 3 Juni 2020   19:14 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat dunia dilanda pandemi corona, tidak ada yang menduga, tiba-tiba dunia dikejutkan oleh aksi demonstrasi yang diwarnai dengan penjarahan di Amerika Serikat (AS) akibat dari meninggalnya pria kulit hitam, George Floyd. 

Di lansir dari reuters, bukannya mereda, kerusuhan justru terus menggelinding dan membesar. Sebagai upaya untuk meredamnya, negeri adidaya tersebut mengerahkan Pasukan Garda Nasional ke 15 negara bagian dan Washington DC. 

Hingga kini demonstrasi yang diwarnai bentrok dengan aparat masih terjadi di Minneapolis, Boston, dan Washington. Di Minneapolis ribuan demonstran menggelar aksi pada Minggu malam di St Paul. Selama beberapa hari terakhir lebih dari 170 toko dijarah para warga yang tidak bertanggung jawab. 

Karenanya, selain mengerahkan Pasukan Garda Nasional, sedikitnya 40 kota di AS memberlakukan jam malam sebagai bentuk pencegahan. Presiden AS Donald Trump marah besar. Dia menyebut para demonstran sebagai "penjahat" dan kelompok anarkis. "Bersikap tegaslah para wali kota dan gubernur dari Demokrat. Panggil pasukan Garda Nasional sekarang," pinta Trump. 

Sementara, atas kondisi yang kini masih terus berlangsung, aktivis hak-hak sipil menilai, video penangkapan George Floyd pada Senin 25 Mei 2020, telah memicu luapan kemarahan yang telah lama membara di Minneapolis dan kota-kota di seluruh Amerika Serikat (AS) sebagai dampak bias rasial persisten dalam sistem peradilan pidana AS. 

Akibat video penangkapan Floyd yang viral ke seantero negeri dan memperlihatkan ia terengah-engah saat lehernya dijepit dengan kaki oleh seorang polisi sembari merintih, "Tolong, saya tidak bisa bernapas," sebelum akhirnya meninggal dunia. 

Akhirnya, menyulut protes yang menyebar dengan cepat, baik secara damai maupun rusuh, juga sebagai ekspresi ketidakpuasan nasional yang mendalam terhadap klaustrofobia sosial dan tekanan ekonomi akibat pandemi virus corona. 

Kendati, isu utama kerusuhan kini tidak lagi sekadar akibat meninggalnya Floyd di tangan polisi, namun lebih mengarah kepada hal rasial yang telah lama membekas, namun demonstranpun bukan hanya dari kalangan rakyat kulit hitam, tetapi warga kulit putih pun turut bersatu padu dalam aksi demostran, kerusuhan, hingga anarkisme dan penjarahan. 

Ini menunjukkan bahwa rakyat Amerika tidak ada yang takut dan merasa tertekan untuk bebas turun ke jalan. Itulah kebebasan demokrasi di Negeri Paman Sam, yang rakyatnya tidak takut diintimidasi atau diciduk aparat pemerintah. 

Meski, tak dapat dihindari, bila demonstrasi sudah melibatkan jutaan massa dan lawannya adalah aparat pemerintah, pasti ada kisah anarkis hingga penjarahan, terlebih dalam situasi dan kondisi rakyat sudah tertekan ekonomi, sosial, dan budaya, di masa sulit pandemi corona. 

Atas situasi dan kondisi di Amerika terkini, membaca berbagai berita di media massa "dunia", ada negara yang senang dengan kondisi di Amerika, ada yang menyindir, dll. Tentu yang melakukan hal itu adalah seteru Amerika. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun