Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Tengah Pandemi Corona, Pemimpin dan Rakyat Kita Butuh Sastra dan "Nyastra"

2 Juni 2020   11:14 Diperbarui: 2 Juni 2020   11:32 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Supartono JW

Jelas, para pemimpin kita itu, barangkali, dulu saat di bangku sekolah, dan kuliah, kurang mendapat asupan "sastra" karena memang guru/dosen yang tak mumpuni. 

Mengapa China hingga sekarang menjadi kiblat dunia, karena para pemimpinnya dan rakyatnya tak pernah lepas dari kehidupan bersastra. Dalam Ujian Nasional, soal-soal ujian adalah kesusastraan Tionghoa, yaitu filsafat, sejarah, sajak serta perundingan yang berat-berat. 

Itulah sebabnya ada pepatah "tuntutlah ilmu sampai ke negeri China". Dan kini China menjadi penguasa dunia bersaing dengan Amerika. Bagaimana di Indonesia? 

Apa yang diperbuat oleh para pemimpin kita, jangankan untuk menjadikan contoh untuk masyarakat yang dipimpinnya, untuk dirinya sendiri saja, belum layak. Sudah menduduki tempatnya saja masih menjadi sorotan publik karena nirkelayakan dari sikap dan perbuatannya yang tidak mencerminkan seorang pemimpin. 

Rakyat bingung, siapa di negara ini yang layak untuk dijadikan contoh di berbagai segi kehidupan. Pemimpin memahami ajaran agama, tetapi mereka juga yang sering melanggarnya, karena mereka tahu caranya bertobat. Pemimpin melanggar hukum, tetapi mereka juga tahu caranya lepas dari hukum. 

Pasalnya pemimpin-pemimpin kita sekarang tak "nyastra" atau tak mau meluangkan waktu untuk mempelajari karya-karya sastra agar tak salah langkah dalam melaksanakan amanat rakyat. 

Di dalam sastra itu 

Dalam karya-karya sastra, tertuang tuntunan, filsafat, etos kerja maupun tatanan perilaku yang mutlak harus ditumbuhkembangkan oleh seorang pemimpin dalam menggerakkan roda pemerintahan, dan sangat banyak karya sastra yang bisa dijadikan referensi oleh para pemimpin dalam mengelola pemerintahan ini. 

Karya sastra sarat dengan filsafat tentang kepemimpinan yang layak dijadikan pegangan oleh para pemimpin. Jadi, pemimpin yang nyastra bukan berarti pemimpin itu harus mahir bersastra puisi, prosa dan sebagainya. 

Yang terpenting, bagaimana pemimpin itu bisa mengimplementasikan ajaran dan filsafat kepemimpinan dalam karya sastra itu ke tataran praktik atau implementasi. Bila pemimpin kita "nyastra" tentu akan benar-benar memikirkan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya berorientasi memikirkan dan mengejar kekayaan diri sendiri. 

Dengan demikian, seseorang baru bisa disebut sebagai pemimpin yang sejati apabila dia setia pada pikiran, perbuatan dan perkataannya. Dia tidak berorientasi menumpuk kekayaan, tetapi senantiasa mengupayakan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun