Ternyata hampir seluruh peserta baik peserta di tingkat DKI, maupun 33 provinsi lain di Indonesia, kompak berpendapat bahwa, mereka semua, sebagai guru bahasa Indonesia, memang tidak pernah dekat dengan pembelajaran sastra drama, baik saat kuliah maupun setelah mengajar.
Dalam lomba inovasi tersebut, juga hanya ada 1 atau 2 peserta yang membawakan materi sastra, dan inovasi sastra drama hanya saya.Â
Tergambarlah betapa pengajaran sastra memang tertinggal.
Ujian Nasional di China, kesusastraanÂ
Berikutnya, mengapa saya tulis artikel dengan judul "Bila Pemimpin Bersastra", 15 tahun berikutnya, setelah "Bila Sastra Berujung Tombak?"Â
Dalam berbagai literasi, sosok pemimpin Indonesia yang akrab dengan sastra adalah Muhammad Yamin dengan Sumpah Pemuda-nya. Lalu, Bung karno, Bung Hatta, Syahrir, Tan Malaka, adalah sosok yang dekat dan membaca karya sastra.Â
Untuk tingkat dunia, kita dikenalkan sosok semacam Presiden Abraham yang terkenal banyak bikin puisi dan berkarib dengan sastra, yang menuntun kepemimpinannya.Â
Kemudian bangsa Tionghoa sampai tahun 1904 dipengaruhi dengan ujian kesustraan atau disebut juga Ujian Nasional/Ujian Kenegaraan. Di Tionghoa, berhasil lulus Ujian Nasional adalah kunci agar bisa mendapat pekerjaan yang baik dalam pemerintahan/kepemimpinan.Â
Sebab, dalam Ujian Nasional, soal-soal ujian adalah kesusastraan Tionghoa, yaitu filsafat, sejarah, sajak serta perundingan yang berat-berat.Â
Bagaimana dengan para pemimpin bangsa kita sekarang, di tengah pandemi corona. Apakah mereka cukup bersastra, mengenal sastra, dan memahami sastra? Setelah beberapa dasawarsa, hingga pemimpin kita sekarang, jarang sekali kita temukan catatan tentang pemimpin kita yang dekat dengan sastra.Â
Oleh karenanya, baik sebelum hadir corona dan hingga sekarang corona melanda, apa yang terus diperbuat para pemimpin kita, baik di parlemen maupun pemerintahan.Â