Mengawali 1 Syawal 1441 Hijriah, Minggu (24/5/2020) saya mengucapkan Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir batin, teruntuk redaksi kompasiana.com, rekan-rekan kompasianer, dan pembaca kompasianer. Semoga kita semua menjadi manusia yang benar-benar fitrah. Aamiin.Â
Berikutnya, di hari yang penuh kemenangan ini, Idul Fitri 1441, di situasi pandemi corona, tadi pagi, saat usai melaksanakan salat Id di rumah bersama keluarga dan merayakan Lebaran juga #didepanrumahsaja, saya langsung teringat masalah pendidikan.Â
Sebabnya, di depan rumah itu, saya masih melihat ada masyarakat yang baru pulang dari salat Id di masjid maupun di lapangan terbuka. Sementara wabah corona terus memangsa.
Melihat kondisi ini, saya jadi teringat fakta pendidikan kita, lalu memikirkan saran Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) dan apa yang diinformasikan oleh Mendikbud menyoal rencana tahun pelajaran baru, yang banyak diisi berita hoaks. Karenanya, saya perlu menulis artikel ini.Â
Bilakah sejarah pendidikan zaman Daoed Yoesoef di Indonesia akan terulang? Bila benar terulang, apakah tidak akan terputar kembali masalah yang sama. Sebab, saat Daud Yoesoef pun, sekolah dimundurkan karena alasan  yang logis dan masuk akal, meski tetap menjadi masalah yang tidak mudah saat itu.Â
Corona, kenaikan/kelulusan "gratis"Â
Andai saja, manusia dan dunia tahu, bahwa pandemi corona tidak mudah dijinakkan. Khususnya untuk masyarakat Indonesia, bisa jadi, sekolah dan universitas di Indonesia tidak akan memberikan kenaikan kelas/tingkat dan kelulusan, maaf, secara "gratisan".Â
Bila mengacu pada ungkapan Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim bahwa, guru dan siswa mengalami kerugian saat masa pandemi Covid-19. Pasalnya, kegiatan belajar mengajar (KBM) daring tidak berjalan optimal sehingga bisa dipastikan banyak siswa tidak bisa menguasai seluruh mata pelajaran yang diajarkan.Â
"Kalau tidak ingin guru dan siswa rugi besar mending tahun ajaran baru diundur ke Januari saja biar jelas persiapannya," kata Ramli kepada JPNN.com, Sabtu (23/5).Â
Maka, bisa dijadikan indikator mengapa saya menyebut naik kelas/tingkat/lulus sekolah/kuliah gratisan. Selama ini, saat kondisi belajar normal saja, tanpa pandemi corona, sejatinya siswa tidak digaransi dapat menguasai pelajaran, dan naik kelas/tingkat/lulus sekolah/kuliah benar-benar mampu secara teori dan praktik.Â
Sebab, kondisi belajar-mengajar memang masih sangat lekat tetap belajar-mengajar, bukan mendidik. Siswa/mahasiswa hanya belajar mengejar target  nilai ulangan/tes/ujian demi naik kelas/tingkat/lulus, lalu peroleh ijazah. Sehingga, setelah melewati ulangan/tes/ujian biasanya siswa/mahasiswa akan lupa materi pelajaran/mata kuliahnya, karena belajarnya jadi sistem kebut satu malam (SKS). Ini budaya belajar di Indonesia, setelah lepas dari penjajahan.Â