Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bila Ngegas Menjadi Budaya

28 Januari 2020   23:41 Diperbarui: 29 Januari 2020   09:43 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Twitter.com

Persis hitungan 100 hari kerja Kabinet Jokowi jilid 2, segenap lapisan masyarakat dari rakyat biasa, elite partai, hingga pemimpin bangsa, tak henti dijumpai berbagai masalah yang mengakibatkan siapa pun mudah "ngegas!" 

Yah, di republik ini, akibat berbagai kebijakan Jokowi, ulah para menterinya, ulah staf khususnya, ulah elite partai politik dan koleganya, semua membikin rakyat mudah sekali ngegas, mengelurkan perkataan kasar dengan penuh emosi. 

Hampir di semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, mulai dari persoalan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan (Ipoleksosbudhankam) yang seharusnya semua bidang tersebut penting untuk di jaga dan berkeseimbangan agar kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa dan UUD 45, nyatanya, tidak seperti yang diharapkan. 

Moto kerja dan kerja, yang dilakukan oleh Jokowi dengan maksud untuk membangun serta membuat rakyat aman, tenteram, dan sejahtera, tak pelak di semua bidang Ipoleksosbudhankam, menjadi sebaliknya membikin rakyat resah. 

Sebenarnya, bila persoalan berbagai kebijakan menyoal bidang Ipoleksosbudhankam yang digulirkan Jokowi benar-benar berpihak kepada kesejahteraan rakyat, maka rakyat pun tidak akan mengeluh. 

Namun, sudah banyak kebijakan-kebijakan yang tidak populer ditelurkan dan dipaksakan tetap bergulir meskipun rakyat tak setuju dengan fakta adanya demonstrasi dan sebagainya, namun Jokowi tak bergeming dan tetap "kekeh" dengan kebijakannya. 

Menjadi ironi, mengapa budaya "ngegas" di republik ini justru malah dipertontonkan oleh elite partai politik, para menteri, staf khusus presiden, hingga Presiden sendiri? 

Semua drama ngegas para pemimpin yang seharusnya menjadi teladan bagi rakyat, justru malah "besar ambek" ketika berbagai kebijakannya dikritik oleh rakyat, dan dibalas dengan kata atau ucapan ngegas yang terekam kamera televisi atau tertulis dalam berita-berita media massa. 

Seharusnya, atas kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat, maka yang pantas ngegas karena adanya ketimpangan dan ketidak adilan yang semakin hari, semakin dirasakan rakyat, yang pantas ngegas itu rakyat. 

Bukan mereka-mereka yang membikin kebijakan dan melahirkan keresahan rakyat. Aneh, dipercaya memimpin bangsa dan negara, mereka malah bertindak seenaknya, semauanya, mumpung tampuk kekuasaan sedang mereka genggam. 

Prek apa itu komplen rakyat, yang penting, mereka dan kelompoknya tidak menderita dan malah bancakan uang rakyat. Dan yang paling mengenaskan, selama 100 hari kerja Kabinet Jilid II ini, budaya ngegas rakyat Indonesia semakin kentara dan sulit dikendalikan, sebab pemicunya justru mereka yang seharusnya menjadi panutan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun