Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Menggeluti Sepak Bola di Indonesia, Manis Rasanya, Berat Risikonya

20 Januari 2020   10:49 Diperbarui: 22 Januari 2020   17:35 2040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tim Pelita Jaya di Liga Kompas Gramedia U-14 tahun 2017 (KOMPAS/WAWAN H. PRABOWO)

"Nasib menggeluti sepak bola di Indonesia, tak ubahnya seperti mengonsumsi gula. Manis rasanya, namun masih berat menanggung risikonya."

(Supartono JW.20012020)

Indonesia memiliki jutaan pesepak bola muda di sekolah sepak bola (SSB), akademi sepak bola (ASB), diklat sepak bola (DSB), hingga pusat pelatihan pelajar yang tersebar di seantero negeri. Pun banyak pemain berdarah Indonesia di luar negeri yang belakangan sering disebut dalam pantauan PSSI.

Dalam seleksi timnas U-19 yang berlangsung sejak Senin (13/01), ada 53 pemain yang dipanggil untuk unjuk gigi di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang. Namun, hanya 28 pemain yang dipilih sesuai kriteria pelatih tim nasional Indonesia yang baru, Shin Tae-yong.

Di luar itu sebenarnya masih ada beberapa pemain yang belum berkesempatan ikut seleksi karena sedang bergabung dengan tim Garuda Select sehingga komposisi pemain bisa berubah. Termasuk karena adanya "usulan" penambahan pemain dari "pihak tertentu". 

Proses seleksi melalui TC pun masih akan berlanjut ke Thailand, dan pada akhirnya, saat timnas U-19 harus terbentuk hanya akan tersisa kira-kira 23 pemain yang terpilih masuk tim untuk berlaga di Piala Asia U-19 dan Piala Dunia U-20. 

Artinya, dari jutaan pesepak bola muda Indonesia khususnya U-19 dan U-20,  yang akan terpilih dalam tim utama timnas Indonesia hanya berjumlah puluhan. Begitupun untuk timnas kelompok umur U-16, U-23, dan timnas senior, akan terjadi persoalan yang sama.

Padahal sesuai jumlah rakyat Indonesia yang tersebar di berbagai pulau, berbagai provinsi/kabupaten/kota/kecamatan/kelurahan/desa, yang memilih dan menggantungkan sepak bola untuk "hidup", bisa dibentuk ratusan timnas sepak bola Indonesia. 

Namun, karena timnas hanya ada satu, maka pemain yang sama-sama layak masuk timnas pun tetap saja tak dapat menembus gerbong timnas yang kuotanya terbatas sesuai regulasi induk organisasi, baik FIFA, AFC, atau AFF. 

Pelatih Timnas Indonesia Shin Tae-yong memberikan instruksi saat seleksi pemain Timnas Indonesia U-19 di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Senin (13/1/2020). Sebanyak 51 pesepak bola hadir mengikuti seleksi pemain Timnas U-19 yang kemudian akan dipilih 30 nama untuk mengikuti pemusatan latihan di Thailand. (ANTARA FOTO/HAFIDZ MUBARAK A)
Pelatih Timnas Indonesia Shin Tae-yong memberikan instruksi saat seleksi pemain Timnas Indonesia U-19 di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Senin (13/1/2020). Sebanyak 51 pesepak bola hadir mengikuti seleksi pemain Timnas U-19 yang kemudian akan dipilih 30 nama untuk mengikuti pemusatan latihan di Thailand. (ANTARA FOTO/HAFIDZ MUBARAK A)
Setali tiga uang, klub-klub dalam liga PSSI di semua kasta pun terbatas, dan tak mampu menampung semua pemain sepak bola di seluruh negeri ini untuk menjadi bagian dari tim, meskipun sekadar klub Liga 3 Nusantara. 

Fakta lain, menjamurnya pembinaan sepak bola akar rumput di SSB, ASB, DSB, dan sebagainya, juga membawa euforia tersendiri bagi para pembina, pelatih, orangtua, dan pemain untuk bermimpi masuk timnas Indonesia yang memberikan kursi hanya untuk puluhan pemain saja. 

Namun, "mereka" juga tak patah arang. Tak masuk timnas tak apa, syukur-syukur masuk klub liga 1 kelompok umur hingga senior. Kalau tidak masuk, syukur-syukur masih bisa terpilih di klub Liga 2. Bila tak terpilih juga, semoga ada klub liga 3 yang mau menggunakan jasanya. 

Apesnya, jutaan anak usia muda Indonesia yang bercita-cita menjadi pemain timnas atau klub profesional sebagai garansi kehidupannya selama ini, ternyata tak tercapai. 

Padahal sudah mengorbankan berbagai hal, termasuk meninggalkan bangku sekolah formal, melanglang buana ke berbagai SSB/ASB/DSB di berbagai daerah Indonesia, hingga ke luar negeri. Namun ujungnya tak menjadi pemain di klub mana-mana karena terbatasnya kuota dan kerasnya persaingan. 

Itu semua adalah sebagian kecil dari hal-hal yang dilihat dari fenomena mimpi dan cita-cita anak usia muda Indonesia yang memilih sepak bola sebagai pilihan hidupnya. 

Fakta berikutnya, coba kita lihat, bagaimana kehidupan mantan pemain sepak bola Indonesia di kasta yang paling bergengsi, yaitu timnas dan Liga 1, setelah usia tak lagi memungkinkan dan kemampuan juga sudah kalah bersaing. 

Yang tidak "menyiapkan diri" dengan bidang lain di luar sepak bola, tentu akan berkutat hidup dari sepak bola, semisal turun menjadi pelatih. 

Tetapi, lagi-lagi, jangankan menjadi pelatih nasional atau klub, yang jumlahnya terbatas, menjadi pelatih SSB/ASB/DSB dan sejenisnya saja belum tentu diterima karena mantan pesepak bola yang sudah "tak laku" menjadi pemain, jumlahnya juga cukup banyak. 

Bagi mantan pesepak bola yang akhirnya menjadi pelatih klub/SSB/ASB/DSB dan sejenisnya, bila tak memiliki sumber di kehidupan lain, tentu akan "keteter" juga dalam soal ekonomi. 

Begitulah kisah yang nyata dari risiko memilih dan bercita-cita menjadi pemain sepak bola murni di Indonesia, hingga kini, tanpa ada embel-embel sumber mata pencaharian lain. 

Sementara, hingga kini juga, paradigma anak dan orangtua masih tak berubah, bahwa untuk menjadi pemain sepak bola tak perlu sekolah atau belajar. 

Paradigma inilah yang terus menjadi "racun" bagi ketangguhan timnas Indonesia (jauh dari "cerdas") dan banyaknya mantan pesepak bola atau pesepak bola yang masih di usia produktif, menjadi "pengangguran". 

Sebab, tanpa didasari oleh ilmu-ilmu dari sekolah formal, pesepak bola akhirnya lemah kecerdasan, tanpa disadari. Memilih fokus sepak bola di masa muda dan usai produktif, secara otomatis menutup diri dari berbagai kesempatan pekerjaan di luar sepak bola, karena tak memiliki "modal" keahlian dan ijazah formal. 

Namun begitu, pesona, dan daya tarik permainan sepak bola, tetap saja membius "mereka". Bahkan sepak bola adalah "candu" (ketagihan) bagi para pemain. 

Lebih dari itu, sepak bola adalah candu bagi para pengurus PSSI, klub, wasit, voter PSSI, hingga para mafia, karena sepak bola dapat dijadikan berbagai "alat" dan "kendaraan" mereka untuk menjadi mesin uang dengan menghalalkan segala cara.

Begitulah ironi sepak bola Indonesia sepanjang masa, makanya timnas senior sulit berprestasi. 

Apakah hadirnya Shin Tae-yong akan berpengaruh, semudah membalik telapak tangan, dengan mendobrak paradigma "jadul" mimpi orangtua dan anak usia muda yang bermimpi dan merangsek memaksakan diri berupaya menjadi pemain nasional yang kursinya terbatas?

Setelah pensiun menjadi pesepak bola, lapangan kerja juga terbatas?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun