Mohon tunggu...
suryansyah
suryansyah Mohon Tunggu... Editor - siwo pusat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

warga depok paling pinggir, suka menulis apa saja, yang penting bisa bermanfaat untuk orang banyak. Email: suryansyah_sur@yahoo.com, siwopusat2020@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Saya Bukan Pilihan

22 November 2021   17:01 Diperbarui: 22 November 2021   18:22 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demokrasi pemilihan Ketua RT 007/005 Permata Depok Jawa Barat/foto dok pribadi

DEMOKRASI tak boleh mati. Harus hidup dan tumbuh. Bukan cuma untuk kalangan elite di Senayan. Tapi juga untuk akar rumput (masyarakat).

Secara epistemologis, demokrasi terdiri dari dua kata. Berasal dari bahasa Yunani. Demos berarti rakyat atau penduduk suatu tempat. Satu kata lagi: cretein atau cratos. Berarti kekuasaan atau kedaulatan.

Singkatnya: Keputusan dari rakyat untuk rakyat. Mengutamakan persamaan hak dan kewajiban. Pun perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Seperti kata Abraham Lincoln. Demokrasi ialah pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Hari ini, di lingkungan saya tinggal, demokrasi terus tumbuh. Di komplek Permata Depok, Jawa Barat. Terutama jelang pemilihan ketua RT (Rukun Tetangga). Periode 2022-2025.

Segala perangkat demokrasi digagas. Mulai dari pembentukan panitia. Aturan main bakal calon (balon). Hingga metode pelaksanaan. Ada tiga tahapan. Menariknya aja door prize buat pemilih. Keren dah...!

Semua digarap jauh sebelum hari H. Tahap 1-2 sudah dilalui, Sabtu-Minggu (20-21 November 2021). Tinggal putaran final. Tanggal mainnya masih dirahasiakan panitia. Cuma dibilang, Desember. Pesertanya, tentu bertambah. Karena melibatkan seluruh warga yang sudah berusia minimal 17 tahun.

Bikin para balon deg-degan. Bukan berharap terpilih. Atau alih-alih menang secara aklamasi. Panitia tak perlu ribet. Tak banyak biaya keluar. Walau cuma sekadar kopi, martabak, dan gorengan.

Sebaliknya, para balon terpilih justru berharap gugur. Terutama saya. Tidak tahu kalau balon yang lain.  Saya tak bisa meraba-raba dalamnya hati seseorang. 

Saya pribadi berharap terganjal aturan main. Bahkan rela kena penalti. Siap bayar konsekuensi. Rogoh kocek untuk kalah. Bukan untuk menang, seperti politikus yang rakus jabatan.

Aneh kan? Di lingkungan lain, orang jadi Ketua RT berlomba. Bahkan ada yang harus bayar. Tapi, di lingkungan saya justru sebaliknya. Tidak ada yang mau jadi RT. Alasannya, mungkin faktor pekerjaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun