Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Cuaca Melbourne: Empat Musim dalam Satu Hari

31 Maret 2019   15:51 Diperbarui: 31 Maret 2019   15:54 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bangunan stasiun Kereta Api tua di kota Melbourne ini sungguh eksotis kupandangi dari tempatku berdiri. Di sudut ini aku bisa melihat dua suguhan pandang mata sekaligus: bangunan tua di arah kanan dan bangunan modern di sisi kiri. Seperti dua peradaban yang bertemu di sebuah masa.

Flinders Street Station, begitu nama stasiun kereta api itu. Bangunan berwarna kuning bergaya Viktoria itu sangat menonjol di tengah ikon bangunan lain di area itu. City Circle, sebuah tram tua berwarna merah unik yang berputar-putar mengelilingi kota untuk para turis ikut melengkapkan kesan Viktoria kota ini. Ada yang bilang, Melbourne ini seolah sepadan dengan kota Jogjakarta (tentu dalam kemasan dimensi ruamg dan waktu yang berbeda). Paling tidak, dari sisi kota pelajar dan kota multi rasial.

Di bangku hitam panjang ini aku duduk. Menikmati waktuku sendiri. Meresapkan setiap hembusan angin. Menikmati setiap detil yang bisa kurekam dan kujejalkan dalam neuron-neuron otakku. Barangkali kelak aku akan kutuliskan dalam sebuah tulisan.

Di sekelilingku, sekelompok burung merpati terbang rendah dan hinggap di sekitarku. Mematuk-matuk serpih roti tawar berlapis selai nanas yang kulempar sesekali ke arah mereka. Burung-burung merpati itu seolah-olah mengangkat wajahnya, menyorotkan pandang matanya padaku, dan berkata, 

"Hey.... berikan lagi kami roti berselai nanas itu......". 

Hal itu membuatku tersenyum dan meluluskan permintaan mereka. Begitu seterusnya.

Pagi ini, pukul sepuluh. Orang banyak berlalu lalang. Sepasang kekasih saling melingkarkan tangan di pinggang.

Pengemis gembel di sudut sana hanya diam sambil menadahkan kaleng bulatnya. Rambutnya sungguh masai. Pakaiannya sungguh kumal. Aromanya? Entahlah. Aku tak berani mendekat.

Di sudut lain, pengamen berkelompok menyanyikan lagu dengan alat musik mereka. Musik jalanan. Banyak sekali orang yang mengerumuninya. Dari tempatku, terdengar sayup musik mengalun. Di atas sana, matahari bersinar ramah. Awan bergerombol membentuk kelompok gugusan seolah masing-masing gugusan berbisik membicarakan tingkah polah manusia di bumi.

Unpredictable. Itulah sebuah kosa kata lama yang menjadi kosa kata penuh tekanan di dalam benakku saat ini. Subuh tadi, betapa gerimis yang lebat menghiasi udara Melbourne yang kering. Gerimis segerimis-gerimisnya! Seperti tangis dua anak manusia dalam ketidakberdayaan cinta yang lengkap dengan sembab dua pasang mata. Gerimis yang begitu muram, laksana pandang dua pasang mata yang terguncang yang melahirkan tangis tak terbendung. Sungguh, subuh tadi begitu sendu! Ketika jarum jam merambat ke pukul tujuh, langit penuh awan hitam. Mendung. Kelabu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun