Mohon tunggu...
Siti Us Bandiyah
Siti Us Bandiyah Mohon Tunggu... Guru - Thalib 'ilmi • Ilmu Quran dan Tafsir • Akuntansi Syariah

Menulis, adalah lembar pengasahan diri dari setiap pengajaran. Ali ibn Abi Thalib ra berpesan, "ikatlah ilmu dengan menuliskannya."

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diabolisme dan Metodologi Hermeneutika Penafsiran al-Quran di Perguruan Tinggi Islam Indonesia

21 Desember 2020   22:25 Diperbarui: 21 Desember 2020   22:27 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

oleh: Siti Us Bandiyah

Masuknya metodologi Hermeneutika dalam wilayah tafsir al-Quran telah menimbulkan perdebatan panjang hingga saat ini. Hermeneutika dikenal sebagai ilmu interpretasi milik umat Kristen, dan penggunaan metode ini dianggap sebagai usaha menyintesiskan keilmuan Islam dengan ilmu-ilmu sekuler.[1] Usaha ini telah dilakukan kaum Muktazilah sejak abad ke-3 Hijriah yang mengakomodir filsafat Yunani dalam interpretasi teologi Islam. Di zaman kontemporer, hermeneutika kemudian digunakan para orientalis untuk mempelajari kandungan al-Quran. 

Dalam diskursus pemikiran Islam kontemporer, wacana hermeneutika diusung sebagai solusi kebuntuan metodologi Islam. Pemikiran seperti ini diajukan Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Hassan Hanafi, Aminah Wadud, Fatima Mernissi, Muhammad Shabur, Fazlur Rahman, dan lain-lain. Menurut mereka, penggunaan metode konvensional seperti asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasabih dan lain sebagainya dalam memahami sumber dan ajaran Islam dianggap tidak lagi relevan dengan konteks saat ini.

Kelompok ini merupakan para penafsir al-Quran bertipologi Quasi-Obyektivis Modernis, yang menggunakan metode baru dalam menafsirkan al-Quran seperti ilmu-ilmu eksata dan non eksata, seperti hermeneutika. Aliran ini memandang bahwa makna asal yang bersifat historis hanya digunakan sebagai pijakan awal pembacaan al-Quran masa kini, makna asal literal ini tidak lagi dipandang sebagai pesan utama al-Quran. Al-Quran dianggap harus ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman dengan memahami makna di balik pesan literal (ratio legis). Abu Zayd mengajukan maghza (signifikansi ayat), dan al-Thalibi dengan maqashid (tujuan-tujuan ayat).[2]

 Di Indonesia sendiri, masuknya benih hermeneutika dalam perguruan tinggi Islam adalah setelah ketetapan Departemen Agama (Depag) RI pada Agustus 1973 yang menetapkan buku "Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya" karya Harun Nasution sebagai pegangan mahasiswa untuk mata kuliah Pengantar Agama Islam. Mata kuliah ini wajib diambil oleh seluruh mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) saat itu, dan Universitas Islam Negeri (UIN) pada saat ini. Buku ini kemudian diterbitikan oleh UI Press pada 1974 dengan memuat pengantar Kepala Direktorat Perguruan Tinggi Departemen Agama, Dr Muljanto.[3] Akibatnya, buku ini dijadikan sebagai bahan kuliah dan bahan ujian bagi perguruan-perguruan tinggi Islam swasta yang menginduk kepada Departemen Agama.

Meskipun mendapatkan banyak kritik, keterlibatan pemerintah terasa benar memberikan angin segar masuknya metodologi hermenutika dalam penafsiran al-Quran di berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia. Misalnya, protes yang dilayangkan menteri Agama Islam pertama di Indonesia, Prof. H.M. Rasjidi yang menulis laporan rahasia kepada Menteri Agama dan beberapa eselon di Departemen Agama. Dalam bukunya, "Koreksi terhadap Dr Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya", ia menulis:

"Laporan Rahasia tersebut berisi kritik terhadap buku Sdr. Harun Nasution yang berjudul 'Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya'. Saya menjelaskan kritik saya fasal demi fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementrian Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh Kementrian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan sebagai buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia."[4]

Rasjidi telah memprediksi, gagasan Harun akan menimbulkan dampak munculnya pemikiran-pemikiran liberalisme, sekuralisme dalam kajian-kajian Islam di Indonesia. Sayangnya, kritiknya ini tidak digubris pemerintah, dalam hal ini Kemenag. Rasjidi menilai, sikap ini disebabkan oleh dua kemungkinan, yaitu Kemenag setuju dengan isi buku tersebut dan ingin mencetak sarjana IAIN merunut konsepsi Harun Nasution, atau karena ketidakmampuan dalam menilai buku tersebut dan bahayanya terhadap eksistensi Islam di Indonesia. Maka, sejak saat itu, pembakuan metode Islam ala orientalis disahkan di seluruh perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia.[5]

Gagasan ini mengakibatkan rekontruksi kurikulum besar-besaran di seluruh perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia. Akan tetapi, Adian Husaini menilai, kondisi semakin berat ketika yang mengembangkan ide orientalis adalah intelektual Muslim itu sendiri. Ibarat musuh, seoang musuh di dalam benteng akan jauh lebih rumit tenimbang menghadapi 30 musuh di luar benteng.[6] Ironisnya, penggunaan hermeneutika dalam penafsiran al-Quran ikut melahirkan intelektual-intelektual Muslim yang berkripadian Diabolis. Oleh banyak pihak, hermenutika kemudian disinyalir sebagai usaha deislamisasi Islam dan penganut Islam dalam berbagai sendi kehidupannya.

Setidaknya ada tiga persoalan besar ketika hermeneutika ditetapkan pada teks al-Quran. Pertama, hermeneutika mengkhendaki sikap kritis dan bahkan cenderung curiga. Bagi hermeneut, teks tidak dapat dilepaskan dari kepentingan-kepentingan tertentu, baik pembuat teks maupun budaya masyarakat saat teks dilahirkan. Kedua, hermeneutika memandang teks sebagai produk budaya dan abai terhadap hal-hal yang bersifat transenden (ilahiyyah). Dan ketiga, hermeneutika sangat plural, oleh karenanya kebenaran tafsir ini menjadi sangat relatif dan repot untuk diterapkan.[7]

Peneliti INSITS, Syamsudin Arif mengatakan, istilah diabolisme berasal dari bahasa Yunani Kuno, Diabolos yang diartikan sebagai pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis. Kesalahan Iblis bukan karena ia tidak tahu atau tidak berilmu, melainkan karena ia membangkang (aba, QS 2:34, 15:31, 20:116), menganggap dirinya hebat (istikbara, QS 2:34, 38:73, 38:75), dan melawan perintah Tuhan (fasaqa 'an amri Rabbihi, QS 18:50).[8]. Ketiga sifat Iblis inilah yang juga dimiliki oleh para intelektual diabolis. Sehingga, seorang intelektual diabolis mereka mengetahui dan mengakui keesaan Allah Swt tetapi menolak untuk melaksanakan perintah-Nya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun