Mohon tunggu...
Siti LailatulMaghfiroh
Siti LailatulMaghfiroh Mohon Tunggu... Guru - Early Chilhood Enthusiast

Sedang belajar mencintai menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bakat yang Tertuntut

21 September 2020   10:49 Diperbarui: 21 September 2020   10:57 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest/Sofi Sofi

" Aku suka catur waktu masih paud, ya mulai situ ayah ngarahin kesitu"

Jawab anak tersebut saat ku wawancarai pagi ini. Dia salah satu anak yang sering ikut turnamen catur tingkat kota. Dan telah mengoleksi banyak piala bahkan medali. 

Saat ini, dia sedang sibuk mempersiakan diri untuk mengikuti seleksi 10 besar bulan desember depan. Awal mula dia terjun di dunia percaturan ketika ayahnya membeli papan catur, ayahnya pun mengajak dirinya berduel. Alangkah terkejutnya sang ayah ketika melihat Joni (inisial namanya) lihai dan mampu mengalahkan ayahnya.

Terlihat Joni memiliki ketertarikan dalam bidang tersebut. Alhasil, orangtuanya pun mengarahkannya hingga ia sering memborong piala disetiap turnamen yang ia ikuti. Akan tetapi, ada yang mengganjal ketika aku mengamatinya. Wajahnya menggambarkan rasa bosan dan jenuh dengan dunia yang hampir 5 tahun ia geluti. 

Orangtuanya sering menekankan bahwa orangtuanya telah mbandani dengan biaya yang cukup menguras kantong. Dan setidaknya Joni mampu memberikan hasil yang maksimal disetiap turnamen. Hal tersebut yang membuat dirinya mulai ogah-ogahan dan gak niat ketika ikut turnamen. 

Nahhh, pelajaran penting nih untuk orangtua agar tidak terlalu menuntut bakat sang anak. Sebelumnya, menurut Bigham (1948) Aptitude merupakan kondisi atau ciri khas yang dianggap sebagai gejala kemampuan individu untuk memperoleh pelatihan, biasanya berupa pengetahuan, keterampilan atau tanggapan, seperti kemampuan untuk berbicara bahasa anak menghasilkan musik. 

Bakat sendiri bisa muncul sejak anak masih kecil, yang mana bakat tersebut memiliki tanda dengan tingginya kemampuan yang dimiliki anak dalam bidang tersebut. Jadi, kalo orangtua melihat anak mahir atau lebih unggul dari teman sebayanya dalam suatu bidang yang ia sukai itu bisa dikatakan bakatnya. 

Dan ketika sang anak mulai memperlihatkan bakat unggulnya. Orangtua terkadang langsung cepat- cepat mengarahkan bakat yang ia miliki. Memfasilitasi dan mendukungnya. Hal ini jika dilakukan terus menerus akan menjadi minat anak. Hurlock mengatakan bahwa minat merupakan sumber motivasi yang mendorong orang untuk melakukan apa yang mereka inginkan bila mereka bebas memilih. Dan minat tidak dapat muncul begitu saja sejak kecil, diperlukan proses yang cukup panjang digunakan untuk belajar menekuni apa yang ia suka.

Dalam mengarahkan bakat dan minat anak, terkadang orangtua harus mengeluarkan biaya yang cukup banyak. Tanpa disadari ada saja orangtua yang merasa terbebani dengan hal tersebut. Yang awalnya ingin mendukung anak yang memfasilitasinya dengan penuh kasih sayang. Berubah menjadi memfasilitasi karena terpaksa. 

Sudah karena terpaksa, apalagi ketika melihat anaknya mengalami prestasi yang menurun. Orangtua makin emosi melihat sang anak. Alhasil, orangtua melampiaskan keluh kesahnya pada anak dan menuntut anak untuk berprestasi dengan maksimal karena orangtua merasa telah membiayainya. 

Terlihat jelas bahwa kurangnya kasih sayang yang tulus pada sang buah hati. Seseorang yang tulus akan perasaannya, pasti tak akan perhitungan dalam memperjuangkan untuk mengungkapkan rasa cintanya. Seperti halnya kasih sayang orangtua pada anak. Ketika mereka terpaksa saat menunjukkan rasa cintanya pada sang buah hati, sepertinya harus dipertanyakan lagi. Karena jika dasarnya saja sudah karena terpaksa, ya hasilnya anak terpaksa juga mengikuti fasilitas yang orangtua berikan. 

Hasrat yang tinggi untuk melihat buah hati berprestasi dengan menggembleng anak tanpa henti. Orangtua mulai terbius dalam ego begitu besar dan menjadikan anak sebagai objekyang senantiasa dituntut untuk berprestasi. Akhirnya anak merasa tidak nyaman dengan bakat yang harusnya hal tersebut menjadi sesuatu yang menyenagkan baginya. 

Anak merasa ingin menghindarinya setiap kali kelas ekstrakulikuler dimulai. Hal ini justru memberikan kesan buruk bagi anak. Seperti apa yang terjadi dengan Joni, dia mulai merasa tidak menggeluti bakatnya, karena tuntutan orangtuanya untuk berbalas budi dengan prestasi. 

Mengutip penelitian yang dilakukan di Arizona State University, menemukan bahwa rata-rata orangtua yang terlalu memaksa untuk mendapatkan prestasi yang baik di sekolah hanya akan berakhir dengan serangan depresi, kecemasan, harga diri rendah, bermasalah secara perilaku dan pelajaran. Berbeda dengan orangtua yang memfokuskan buah hati dengan membentuk karakter anak, contohnya rasa empati yang besar, punya belas kasihan dan mengembangkan keterampilan sosial. 

Seperti kritikan yang diungkapkan oleh Albert Einstein "Everyone is a genius. But, if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing it is stupid". Jangan sampai kita membuat sang bauh hati merasa dirinya seperti ikan tersebut. Hal tersebut sangat menggangu perkembangannya. 

Jika balik ke pengertian awal, bakat itu muncul begitu saja tanpa paksaan. Koreksian untuk orangtua agar lebih memberikan kebebasan pada sang anak, tak perlu menuntut untuk selalu berprestasi. Biarkan mengalir begitu saja, yang penting orangtua tetap mensupport lahir batin. Ini mimpi mereka, bukan mimpi orangtua. 

Ini masa depan mereka, bukan masa depan orangtua. Jangan sampai orangtua menyesal dikemudian hari karena menuntut ini itu pada sang buah hati. Dan apabila orangtua merasa terbebani dengan biaya hidup untuk memfasilitasi anak. Mari merenung lagi, sudahkan orangtua menjadi orangtua yang sesungguhnya? Cukup dijawab untuk diri sendiri saja sebagai renungan. 

Pasti ada cara lain untuk memberikan pengertian pada anak tanpa menuntut anak untuk selalu berprestasi dengan bakat yang ia miliki. Orangtua bisa memberikan dukungan yang berbeda, yang mana hal tersebut  bisa membuat anak menemukan cara pandang yang berbeda tentang apa tujuan untuk menjadi yang terbaik dalam hidupnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun