oleh sitikus.nl
Kalau ada waktu senggang, cobalah jelajahi timeline sebentar. Bukan untuk nontonin konten joget-joget seksi. Bukan juga untuk iseng kepoin mantan yang telah memilih pergi. Coba deh perhatiin budaya kerja anak-anak muda jaman sekarang.
Ada tuh istilah 'hustle culture' yang terdengar asing buat angkatan kerja yang mendekati masa pensiun. Generasi orang-orang tua kayaknya nggak semuanya ngerti deh, kalo anak muda sekarang kerja 24/7 demi kehidupan masa tua yang santai kayak di pantai.
Hustle Culture jadi istilah beken belakangan ini. Sebutan hustle culture disematkan untuk orang-orang yang mendedikasikan waktunya buat kerja. Pokoknya gak ada waktu nganggur! Apalagi bengongin mantan yang udah ninggalin kita demi bahagianya.
Hustle Culture alias produktif tanpa henti
Hustle Culture tuh ngapain sih emang? Sesuai namanya, hustle culture bisa disebut juga sebagai budaya 'gila kerja' yang menerabas segala aturan hidup demi produktivitas. Salah gak memilih hidup kayak gitu?
Anak-anak muda jaman now, apalagi yang sejak lahir sudah diwariskan beban utang keluarga, mau gak mau hidup dengan cara seperti itu. Mereka kerja kantoran alias kerja 9-to-5 buat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sisa waktu yang mereka miliki untuk istirahat dan bersenang-senang juga dialokasikan untuk mencari peluang income tambahan (freelance).
Biar apa sih kerja sampai segitunya? Mereka berkeyakinan, kehidupan masa tua penuh ketidakpastian. Makanya, mereka harus siapin tabungan melimpah dan aset di mana-mana agar mereka bisa santai menjalani usia tuanya.
Dari mana budaya 'gila kerja' ini berkembang?
Melansir survei dari DataIndonesia.id, sebanyak 46,3% generasi muda di Indonesia menjadi generasi sandwich yang mana harus menghidupi diri sendiri, merawat orang tua, serta membesarkan anak-anak mereka. Akibatnya, hampir 73,38% dari generasi sandwich merasa bersalah jika tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Solusi praktis yang bisa mereka lakukan adalah menihilkan waktu santai selagi masih bisa bekerja.
Dampaknya, generasi muda cenderung mudah terpapar stres saat bekerja (burnout) karena tidak punya cukup waktu untuk istirahat. Dilema seperti ini mengharuskan seseorang jadi sapi perah demi menghidupi keluarga. Harapannya, setelah tua nanti dia bisa leha-leha tanpa perlu memikirkan penghidupan keluarga. Ironis, ya?
Apakah Hustle Culture bisa menjamin masa tua?
Tentu tak ada jaminan keberhasilan budaya 'gila kerja' bisa menyelamatkan masa tua seseorang. Kelimpahan ekonomi bukan satu-satunya faktor yang bisa membuat manusia merasa cukup. Ada indikator keberhasilan lainnya, seperti keturunan yang baik, keluarga terpandang, hingga bisnis yang selalu cuan.