Kebijakan terbaru Gubernur Jawa Barat terpilih Dedi Mulyadi menindak tegas para pelajar yang terlibat tawuran, kecanduan game online, hingga bolos sekolah menuai kontroversi dari berbagai pihak.Â
Meskipun pada unggahan konten YouTube Channel Kang Dedi Mulyadi menunjukkan keberhasilan pendidikan ala barak yang bertujuan mendisiplinkan para pelajar, cuitan pro-kontra dari warganet tak kunjung surut.
Jadi, apakah sebaiknya pembentukan karakter berlangsung di barak alih-alih menciptakan ruang belajar yang aman dan inklusif? Apakah penerapan parenting ala VOC untuk pendisiplinan lanjutan bisa memastikan para pelajar itu kelak memiliki mental yang siap tempur di kehidupan dewasa?
Simak sampai akhir, barangkali kita perlu merenung sejenak agar lebih bijaksana dalam memutuskan pilihan.
Saya pernah mengajar di salah satu SMA swasta yang mana setiap harinya harus menghadapi berbagai tingkah anak-anak di kelas. Ada yang hobinya memancing keributan.Â
Ada yang senang bersolek ria sambil sesekali fit check. Ada pula yang diam saja, nurut ketika disuruh, bahkan tidak pernah bicara kecuali ditanya.Â
Setiap anak itu unik. Mereka punya berbagai potensi yang harus terus diasah agar semakin terlihat. Salah satunya, seorang anak didik saya sebut saja D.Â
Sedangkan di kelas saya, D ini terbilang aktif mengikuti kegiatan belajar. Meskipun belakangan saya ketahui, D kerap mencuri kesempatan untuk kabur dari kelas lain.Â
Ke mana D pergi? Rupanya, D pergi bersama teman-temannya dari kelas lain untuk bermain game online di warung pojok belakang.Â
Ya, di tempat itu D dan teman-temannya aman dari kejaran guru piket sebab letaknya cukup tersembunyi dengan akses melalui celah sempit di belakang gudang. Dari mana saya bisa tahu? D menyampaikannya sendiri pada saya.