Dalam keheningan malam, seorang remaja duduk menyendiri, memeluk lututnya, menahan sesak di dada. Bukan karena luka fisik, tapi oleh beban yang tak terlihat: harapan orang tua, tekanan pendidikan, masa depan yang samar, usia orang tua yang terus menua, tuntutan untuk segera menemukan pasangan, dan cita-cita yang seolah kian menjauh. Potret ini bukan milik satu orang, tapi cermin dari jutaan generasi muda saat ini.
Generasi kita tumbuh dengan kemudahan akses informasi, tapi juga dibebani ekspektasi yang lebih berat dari sebelumnya. Orang tua ingin kita sukses secara akademik, cepat mapan, dan menikah di usia ideal. Masyarakat menuntut pencapaian secepat mungkin, seolah hidup adalah perlombaan. Sementara kita sendiri, masih berjuang memahami siapa diri kita sebenarnya.
Gambar yang menggambarkan seorang perempuan dengan wajah lelah dan tulisan-tulisan seperti "cita-cita", "harapan orang tua", "pendidikan", dan "masa depan" di sekelilingnya bukan hanya ilustrasi artistik. Itu adalah realita yang dirasakan banyak dari kita hari ini.
Sayangnya, pembicaraan soal kesehatan mental di negeri ini masih sering dianggap tabu atau "drama." Padahal, beban mental bisa menjadi lebih berat daripada sekadar tugas kuliah atau tekanan pekerjaan. Tidak sedikit yang akhirnya merasa sendiri, bahkan berpikir untuk menyerah.
Kita perlu menciptakan ruang yang lebih aman dan manusiawi bagi generasi muda. Tempat di mana mereka boleh gagal, boleh bingung, dan boleh istirahat tanpa dicap lemah. Kita butuh lebih banyak mendengar, bukan menghakimi.
Karena sejatinya, bukan kurang usaha yang membuat mereka lelah, tapi terlalu banyak arah dan suara yang membebani lan
gkah mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI