Mohon tunggu...
Siti Fatimah
Siti Fatimah Mohon Tunggu... Lainnya - salambusiti.com

A platforn for me to write things that I didn't write on my blog.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mengaji

27 Februari 2021   08:00 Diperbarui: 7 Maret 2021   19:22 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pexels.com/SamiAnas

Memang sempat aku belajar mengaji di Cik Limah, satu-satunya Guru Ngaji untuk anak-anak kecil di kampung ini. Setiap aku salah melafalkan bunyi sin dan syin, dal dan dzal, dho' dan tho', batang bambu yang sudah dibelahnya jadi empat bagian itu disabetkannya ke pahaku. Aku tak tahan. Lari aku pulang.

"Kau benar hanya bisa a ba ta tsa' saja?"
Aku mengangguk jengah.
"Kakek-Nenek tak ajarkan?"
"Mereka tak percaya pada kemampuannya. Ngaji kan bukan perkara mudah. Harus sama ahlinya, ya Cik Limah. Kalau tidak, ya sudah, tak ada yang ajarkan". Aku mengulang kenangan, mengutip jawaban mereka dahulu.

"Jadi..kau..tak pernah sembahyang?" aku menggeleng!
"Aku sembahyang kok!" Temanku menarik nafas lega.
"Tapi aku tak pernah membaca apa-apa".
Cras!
Uhuk!
"Hati-hati dong, Bu Ustazah" kataku tertawa menyerahkan tisu. Uhuk uhuk uhuk!

Temanku makin terbatuk-batuk. Es cendol jatuh ke bawah, keluar dari cadarnya. Aku lempar pandangan keluar, tak mau membuatnya malu atau kikuk. Hujan masih deras. Tatapku.

"Benar yang kau cakap itu?" Warna cadarnya sudah berganti. Hijau Tua.

Aku mengangguk. Memang benar. Aku cuma ikuti gerakannya saja.

"Kau mengaji padaku! Akan kuajari kau setidaknya cara Sholat! Tak usah bayar! Kau suka gratis, ku berikan gratisan macam dua mangkok bakso dan es cendol ini! Nih!"
Aku terkekeh saja menerima kartu namanya. Apa aku sudah setua ini? Melihat kartu nama Ustazah saja aku jadi geli sendiri.

"Lidahku sudah kelu. Kecil saja tak bisa apalagi sudah dewasa". Aku menggeleng tapi tetap ku simpan kartu namanya.
"Muallaf saja masih bisa belajar. Kau juga bisa".

***
Rika melambai masuk mobilnya, buru-buru pulang. Aku melenggang ke pemakaman, bersiul-siul riang. Cara klasik memutus obrolan. Pinjami saja uang. Lepas juga aku dari rentetan ceramahnya yang panjang. Sebelum berpisah, dia sempat menanyakan apakah aku tak takut Kakek-Nenek marah karena menjual barang warisan satu-satunya. Ustazah yang aneh. Apa dia sungguh percaya yang sudah mati bisa bangkit menanyakan hal duniawi? Sibuklah mereka dengan urusan kuburnya sendiri.

Aku hanya menggeleng yakin haqqulyakin, "mereka takkan marah" jawabku sambil senyum. Yang hidup di dunia lebih membutuhkan uang ketimbang mereka yang tiada. Ku teruskan jawaban dalam hati sambil melambai ke arahnya.

"Nah, Kek, Nek. Aku sudah tiba". Segera ku cabuti rumput-rumput berembun yang tumbuh liar di makam mereka sehabis kena hujan. Rumput-rumput segar ini apa bisa untuk sapi? Ah, nanti coba ku pelajari, siapa tahu bisa jadi bisnis baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun