Mohon tunggu...
Siti Aisyah Trianisa
Siti Aisyah Trianisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Peran Pendidik Islam dalam Menciptakan Kerukunan Bermasyarakat di Kawasan Minoritas Muslim NTT

22 Juli 2021   10:24 Diperbarui: 22 Juli 2021   10:41 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Konflik minoritas-mayoritas tidak pernah hilang dalam kehidupan bermasyarakat. Mulai dari yang berskala internasional (misalnya pembataian etnis Rohingya di Myanmar) hingga pergesekan harmonisasi bermasyarakat karena perkara penggunaan pengeras suara (toa) masjid yang dianggap mengganggu.

Konflik minoritas-mayoritas yang terjadi, sejatinya tidak melulu karena persoalan agama, karena dapat terjadi akibat kesenjangan dan kecemburuan ekonomi dan sosial. Namun, yang paling mendasar adalah akibat kurang harmonisnya hubungan antara mayoritas dan minoritas tersebut. Di Indonesia, konflik ini sangat mudah disulut, karena adanya keragaman suku, agama, dan budaya. Sehingga kuasa mayoritas terhadap minoritas sangat mudah disulut, jika masyarakat tidak mampu menahan diri dan membangun sikap toleran.

Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum, bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Namun, Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan satu dari sebagian kecil provinsi di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah non-muslim. Dengan kata lain, agama Islam dan muslim adalah minoritas di kawasan ini. Menariknya, kita hampir tidak pernah mendengar ada konflik minoritas-mayoritas yang bermotifkan masalah agama di NTT.

Dalam jurnal Persepsi Minoritas Muslim terhadap Model Kerukunan dalam Membangun Harmonisasi Sosial yang ditulis oleh Sulanam yang diterbitkan pada Tahun 2018, dikatakan bahwa, "sebagai minoritas, muslim di NTT melihat bahwa, beragama harus betul-betul memperhatikan aspek harmoni sosial. Beberapa tokoh muslim turut mendorong terwujudnya harmoni sosial, bukan saja didorong oleh ajaran Islam semata, lebih dari itu juga didorong oleh keinginan untuk memberikan jaminan kepada umat Islam yang ada di NTT agar berada dalam situasi rukun dan damai".

Dalam hal ini, NTT merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mengikuti peraturan pemerintah pusat dalam payung hukum Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Hal ini juga pernah dipertegas oleh mantan Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, bahwa "mayoritas akan bermartabat jika dapat mengayomi minoritas".

Dari beberapa fakta di atas, dapat dilihat bahwa pemerintah pusat dan daerah NTT telah memfasilitasi peraturan dan jaminan situasi rukun dan damai bagi minoritas Muslim di NTT.  Untuk mewujudkan dan menjaga harmoni sosial yang sudah ada ini, tidak dapat dilakukan dengan sekejap mata, karena berkaitan dengan pembentukan kesadaran sejak dini akan pentingnya kerukunan hidup antar umat beragama dan bermasyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan peran pendidik, seperti Guru, Dosen, dan Pemuka Agama untuk mensosialisasikan dan menanamkan nilai-nilai ini ketika para siswa berada di lingkungan sekolah.

Pendidikan adalah warisan paling berharga yang dapat diberikan kepada generasi berikutnya. Demikian juga pendidikan agama, agar hidup lebih terarah dan bermakna. Pendidikan agama dapat menjadi salah satu cara agar moralitas siswa tetap terjaga, terutama pendidikan agama sejak dini.

Dalam pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran, diperlukan fasilitas-faslitas yang dapat menunjang dan mendukung proses tersebut. Meskipun ada dukungan dari pemerintah daerah dan kegiatan beragama umat muslim tidak dibatasi, namun tidak dapat dielakkan bahwa fasilitas yang tersedia tidak dapat dibandingkan dengan kondisi pada lingkungan masyarakat mayoritas muslim. Dengan kondisi kehidupan minoritas muslim di NTT ini, maka penyampaian materi pembelajaran agama Islam pun tidak mungkin persis sama seperti yang ada di Jawa dan provinsi mayoritas muslim lainnya. Sehingga diperlukan adanya beberapa penyesuaian.

Sebagaimana dikutip dari jurnal Walisongo Volume 19 Tahun 2012 tentang Pergulatan Pendidikan agama Islam di Kawasan Minoritas Muslim oleh Abdul Wahib, bahwa "Selama ini, rumusan-rumusan tentang hubungan Muslim dan non-Muslim terutama dalam masyarakat/Negara minoritas Muslim memang belum dirumuskan oleh ulama-ulama pada masa lalu, karena para ulama saat itu hidup di wilayah mayoritas Muslim." Sehingga baru akhir-akhir ini sejumlah ulama memperkenalkan fiqh al-aqalliyyat (fiqh minoritas), dengan tujuan meringankan beban dan mengurangi kesulitan-kesulitan umat Islam yang hidup di wilayah mayoritas non-Muslim, terutama dalam bidang mu'amalah.

Selain itu, materi-materi Pendidikan Agama Islam tambahan dapat juga diselipkan dalam materi dan kurikulum muatan lokal (mulok), seperti:

  • Menanamkan rasa hormat pada orang lain dengan keyakinan berbeda
  • Menumbuhkan sikap saling memahami dan mendukung kelompok/agama lain agar tetap eksis bukan sebaliknya
  • Menanamkan keyakinan bahwa Islam adalah rahmatan lil 'aalamiin yang berkontribusi sebagai pemecah masalah, bukan pembuat masalah
  • Mengamalkan sikap tasamuh, yaitu menghindari konflik dengan warga non-Muslim dam kehidupan sehari-hari
  • Melatih kemampuan membedakan antara aqidah dan pergaulan serta bisa memposisikan dan menyesuaikan diri tanpa mengorbankan aqidah
  • Menanamkan nilai-nilai saling memahami agar tidak terpengaruh isu yang menakut-nakuti orang Islam dan tidak terlibat dalam tindak kekerasan

Sebagai tambahan, dalam proses pembinaan kerukunan oleh Pendidik Islam di NTT tidak hanya dilakukan melalui metode fasilitasi (pemerintah, tokoh masyarakat) dan sosialisasi (proses pembelajaran di sekolah), namun juga melalui upaya capacity building antar pendidik (dalam hal ini guru agama) melalui workshop-workshop untuk menciptakan kultur keselarasan beragama dan bermasyarakat, yang kemudian dapat diamalkan dan disosialisasikan kepada para siswa dalam proses pembelajaran dan pengembangan karakter. Sehingga harmoni sosial yang telah ada dapat tetap terjaga hingga ke generasi berikutnya.

(ditulis oleh Siti Aisyah Trianisa -- 1400001242)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun