Malam ini aku pulang dua jam lebih cepat dari biasanya. Aku membawa sebakul remahan roti yang kudapat dari tempat sampah. Baciwak, istriku pasti akan terkejut melihat hasil hari ini. Dia akan tambah jatuh cinta padaku.
"Sayang!" seruku dari ambang pintu. Dia tersentak, dan langsung menoleh. Lipstik sudah merembes ke pipinya. Aku ingin tertawa, tapi karena takut dia marah aku memilih mengulum bibir.
"Sayang, aku bawa makanan banyak ... banget!" Kuturunkan bakul dari pundak, kemudian menyodorkannya. "Lihat ... roti!"
Dia berdecak kesal, kemudian mengambil tisu basah. Membersihkan lipstik dari pipinya. Aneh, dia tak menghiraukan makanan yang kusodorkan. Biasanya dia sangat antusias menyambut makanan, walau kadang hanya beberapa biji nasi sisa.
Aku meletakkan bakul roti itu di lantai. Perlahan kurangkul dia dari belakang, tak lupa daguku yang kecil kuletakkan di pundaknya. Dia menepis dengan kasar.Â
"Mau ke mana, sih?" tanyaku serius. Siapa juga yang terima diperlakukan seperti itu? Kami sudah menikah dua tahun, tapi baru kali ini dia bertingkah seperti itu. Dengan sengaja, aku memajukan bibir. Merajuk.
"Aku mau ke pengajian rumah Bu Teota, tetangga baru itu." Akhirnya dia menjawab. Aku mengerutkan dahi, pengajian kok make-up tebal gitu?
"Kok, lipstiknya tebal banget?" Aku memutar tubuh Baciwak hingga kami berhadapan. Bedak yang menempel jika diukur mungkin sudah mencapai 5 cm, sedangkan eyeliner sudah seperti bulu ketekku yang hitam legam, dan luas. Lipstiknya? Jangan tanya lagi, lebih tebal dari selimut Donlopillo yang dilipat tiga.
"Iss. Kau ini, tidak tau bergaya, sih. Ini, tuh tren masa kini!" Dia membentakku.
"Ya, tapi-"
"Udahlah, Bang! Aku males berdebat!" Dia mengamit tas dari atas meja, tas yang terbuat dari kantong kresek hitam. Tanpa pamit, Baciwak melenggang pergi. Aku mulai berpikir, apa dia benar wanita yang kukawini dulu?