Mohon tunggu...
siti atiadestri
siti atiadestri Mohon Tunggu... Guru - tenaga pengajar

hobi berkebun dan menari

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Sastra yang Terlibat

17 Januari 2023   00:22 Diperbarui: 17 Januari 2023   00:24 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Duuuuuuuuuuuaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrr. Itu adalah suara ledakan bom yang biasa digunakan oleh para penulis saat menggambarkan peristiwa ledakan dalam tulisannya. 

Biasanya penggambaran itu akan ditambahkan dengan deskripsi "tubuhku terpental, setelah dentuman keras itu dunia di sekitarku tiba-tiba menjadi tanpa suara dan hanya gelap yang tersisa" atau "9 meter di depanku, tubuh itu muncrat dan menerbangkan tubuh-tubuh lain disekitarnya, aku terkagum dan sekaligus tergelitik karena pemandangan seperti itu mengingatkanku pada lagu balonku". 

Ahh.. barangkali jika yang kedua itu terlalu ekstrim, masa iya ada orang yang malah tergelitik dan ingat lagu balonku saat melihat bom bunuh diri. Kalaupun yang demikian itu ada, Densus 88 harus curiga orang itulah teroris sebenarnya, sebab tak punya secuil hati nurani!!

            Lain halnya jika itu hanya ada di dalam sebuah karya fiksi, penggambaran itu lumrah sahaja adanya, hal-hal absurd yang menendang birokrasi logika orang modern secara psikologis, sosiologis, dan budaya yang sedang berlaku, memiliki banyak ruang untuk diterima sebagai buah karya sastra. 

Malah jika beruntung tulisan itu akan dimaknai dan dikaitkan oleh pembaca pada pelbagai hal yang tengah terjadi. Misalnya tulisan soal ledakan itu lahir pada saat awal situasi pandemi Covid-19 terjadi, pembaca dengan kebebasan menafsirkan sebuah karya dapat menyangkutkan ledakan itu dengan virus yang menyebar ke seluruh dunia dan menewaskan jutaan orang. 

Terlebih lagi jika pembaca karya itu adalah orang yang memahami teori sastra, setelah dibaca seluruhnya dengan sangat teliti kemudian tulisan itu dianalisis berdasarkan teori yang ada di kepalanya, bukan tidak mungkin ledakan itu ditafsirkan sebagai sebuah tanda kekacauan saat masa pandemi.

Suasana terkagum dan sekaligus tergelitik pada kisah di paragraf awal itu dibaca sebagai simbol yang menggambarkan keadaan psikologis yang terganggu akibat pandemi, lebih tajam lagi hal itu ditautkan sebagai gagasan penulis untuk menggambarkan kegagalan pemerintah menangani pandemi dalam berbagai bidang dan dispesifikan pada dunia pendidikan sebab misalnya kisah ledakan itu terjadi di lingkungan sekolah.

            Dengan analisis itu kemudian dibaca lagi oleh khalayak umum, pembaca lebih gila lagi dalam menafsirkan hasil analisis itu, tulisan itu kemudian dianggap telah menggugat keadaan dunia pendidikan karena telah terjadi suatu hal yang memaksa untuk beralih dari ruang belajar fisik yang sudah hancur oleh virus pada ruang digital. Kemudian di luar tulisan itu, pada kenyataannya sedang terjadi sebuah ketidaksiapan perangkat pendidikan untuk beralih ke ruang belajar digital, keluhan emak-emak yang mesti mengisi PR anaknya, sedang anaknya asyik bermain petak umpet dengan sekawannya, menurunnya minat belajar, masalah subsidi kuota, masalah jaringan, cerita-cerita orang yang tak mampu beli kuota bahkan tidak punya telepon genggam, dst.

            Lalu tulisan-tulisan itu makin terngiang di kepala para pembaca, penulis dianggap mampu melihat apa yang tidak terlihat di hari esok alias futuristik. Maka di undanglah penulis itu untuk mengisi seminar-seminar atau bedah buku yang tengah marak di era pandemi melalui zoom meeting. Sebagai penulis yang juga butuh makan untuk idealismenya, diterimalah tawaran yang datang dari publik pembaca karyanya di mana-mana. Penulis itu yang tadinya hanya sekedar menulis saja yang ada di kepalanya, akhirnya jadi sedikit demi sedikit nimbrung mengajukan pendapat atas keadaan yang telah berubah sama sekali oleh pandemi dalam hal ini pendidikan karena dikaitkan dengan karyanya.

            Ketika bicara di hadapan layar dengan para intelektual kampus, penulis itu tak lupa pula berprihatin atas kondisi yang sedang terjadi, sebab pada ceritanya penulis pula sering mendapat keluhan dari teman-temannya yang dosen, bahwa banyak mahasiswa yang kian hari kian surut semangatnya dalam pelajaran, ada pula yang bercerita bahwa kian hari mahasiswa enggan menyalakan kamera saat zoom yang jadinya memberikan kesan seperti latihan monolog di depan kaca, begitu banyak cerita yang penulis itu dapatkan saat sesi tanya jawab dengan para dosen dan mahasiswa di setiap kesempatan seminar online yang diadakan oleh kampus-kampus.

            Di lain waktu saat diundang pada bedah buku yang diselenggarakan oleh komunitas pegiat literasi, penulis jadi ikut sumbang saran agar kegiatan-kegiatan seperti ini lebih diperbanyak, ini adalah ruang alternatif untuk belajar, sarana-sarana belajar yang baru seperti ini pula harus sering dikembangkan dan diajarkan, katanya setelah sedikit cerita pengalamannya saat pertama kali menggunakan zoom meeting tak tahu cara untuk mengaktifkan microphone. Dengan sedikit banyak tambahan cerita soal karyanya yang diyakin-yakinkan kepada pembaca, penulis itu berkata "Tulisan saya ini hanya sebagai penanda zaman, saya telah membebaskan anak saya untuk hadir pada pembaca, maka rawatlah dengan nalar kritis kalian" biasanya omongan itu keluar saat hendak acara mau usai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun