Mohon tunggu...
Sita Sari Piliang
Sita Sari Piliang Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswi

Mahasiswi berprestasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Netralitas ASN dalam Mewujudkan Pelayanan Publik yang Berkeadilan

14 Desember 2019   16:11 Diperbarui: 14 Desember 2019   16:16 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sebagai warga negara, ASN (aparatur sipil negara) atau PNS (Pegawai Negeri Sipil) memiliki hak politik. Tetapi, ASN hanya memiliki hak pilih. Seorang ASN punya akses atas hak dipilih apabila ia mengajukan pengunduran diri atau pensiun dini dari status sebagai ASN.

Atas hak pilih tersebut, ASN "diperintrahkan" untuk netral dalam politik kampanye, bukan dalam pilihan. Itu "perintah" UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Apartur Sipil Negara.  ASN dianggap memiliki modal simbolik dan kekuatan "birokratik-sistemik" yang sewaktu-waktu bisa digunakan dalam politik Pilkada. Oleh karena itu, berbagai undang-undang, peraturan, keputusan dan surat edaran dibuat untuk "mengkarantina" aktivitas politis ASN.

Semua itu baik, demi penjaga penyelenggaraan politik Pilkada yang berkeadilan. Selain itu, konsep netralitas ASN dimaksudkan untuk tetap menjaga performa kinerja, profesionalitas dan efektivitas kerja pelayanan publik. Dengan begitu, masyarakat tetap mendapatkan pelayanan yang baik, tanpa ada diskriminasi atas pilihan politik masyarakat tersebut.

Itu berarti, definisi netralitas  mesti dimengerti sebagai netralitas pelayanan publik. Dalam proses pelayanan publik di pemerintahan, masyarakat tidak diperlakukan secara diskriminatif atas pilihan-pilihan politiknya selama tahapan kampanye berlangsung. Atau, dalam proses pelayanan publik berlangsung, ASN tidak menitipkan pesan-pesan sponsor politik paket-paket politik tertentu.

Dalam prkatiknya, netralitas fungsi pelayanan publik selalu terjaga baik. Masyarakat sangat jarang mendapatkan perlakukan diskriminatif dalam proses pelayanan publik. Justru di musim politik Pilkada, terkesan proses pelayanan publik semakin lebih baik, efisien dan efektif.

Penggunaan otoritas yang diskriminatif dan cenderung koruptif itu tidak lain disebabkan oleh ikatan psikologis (fanatisme politik) dengan paket politik tertentu. Akibatnya, sang pemangku otoritas kehilangan inteligensia dan kemampuan mengambil kebijakan (decisiveness). Bahkan saking fanatiknya, seorang ASN yang berbeda dangan atasan (pemangku otoritas) akan diekslusi dari tugas atau jabatan struktural atau fungsional birokrasi.

Eksesnya memang tidak dirasakan oleh masyarakat sebagai penikmat pelayanan publik, tetapi marwah ASN sebagai penggerak roda pemerintahan menjadi buruk. Bahwa otoritas ternyata tidak menjamin bureaucratic justice, sebagai dampak perbedaan pilihan politik. Di sini, penilaian atas profesionlitas dan integritas pemangku otoritas menjadi sangat buruk. Dengan sendirinya, etika birokrasi luntur di tangan pemangku otoritas yang melacurkan diri pada fanatisme politik pilihan paket tertentu.

Dalam kasus Pilkada dengan figur bupati sebagai petahana (incumbent), "soliditas" birokrasi ASN tampak kuat, dan kualitas pelayanan publik pun sangat baik. Dalam diskusi-diskusi kecil-nya, mayoritas ASN sudah punya pilihan. Semacam ada "kepatuhan" diam-diam, tanpa harus ada ekspresi yang berlebihan dalam sikap dan pelayanan publik. Tak ada soal dengan itu, sebab ASN memiliki hak memilih.

Tidaklah heran jika dalam proses Pilkada, ada kebijakan-kebijakan daerah pada dinas-dinas tertentu dibuat berdasarkan sikap "semau-gue" sang kadis. Biasanya, justru melabrak aturannya sendiri. Kadis-kadis tersebut bertindak persis "bupati kecil". Tentu bupati tidak akan mengambil sikap tegas terhadap "bupati-bupati" kecil tersebut. Sebab tujuan mereka sama, yakni mendukung paket tertentu, sembari membentuk "citra buruk" pemerintahan sendiri agar sang wakil bupati mendapat getahnya. Semacam "kamikaze" politik untuk mendukung pasangan calon pilihan bupati.

Dalam Pilkada, kalau bupati dan wakil bupatinya masing-masing mencalonkan diri sebagai kepala daerah, keterbelahan birokrasi ASN sangat terasa. Akan ada 2 (dua) loyalitas, meskipun porsi loyalitas terhadap bupati lebih besar. Tetapi, dalam keterbelahan loyalitas tersebut tak ada "kamikaze politik". ASN akan tetap mempertahankan kualitas pelayanan publik demi menguatkan citra pemerintahan yang baik.

Masing-masing kubu akan mempertahankan kualitas pelayanan publik demi menggaet simpati publik.Terlepas dari urusan kualitas pelayanan publik, dengan kuatnya status simbolik ASN, pemerintah merasa perlu untuk mengatur sikap dan tindakan ASN ekstra kantor. Surat Edaran Komisi ASN dan Menteri PAN RB dilayangkan untuk menguatkan penjagaan atas aturan netralitas ASN.Aturan panoptik pun dibuat untuk mengatur aktivitas ekstra ASN yang mengarah pada politik praktis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun