Mohon tunggu...
Siska Febriyani
Siska Febriyani Mohon Tunggu... Guru - Seorang Ibu dan Guru yang rindu mengasuh, mendidik, merawat dan menginspirasi setiap orang yang dijumpai.

* Tokoh Favorit : St. Theresia, Malala Youzafzai, dan Andar Ismail * Menghidupi hidup dengan kebaikan dan keramah tamahan. * Isteri, Ibu, Guru, Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengembangkan Intercultural Competence guna Membangun Indonesia Melalui Pengiriman Siswa Belajar ke Luar Negeri

14 Januari 2021   23:30 Diperbarui: 20 Januari 2021   17:09 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis: Siska Febriyani (Mahasiswi Program Magister, UNIKA ATMAJAYA)

Pendahuluan

Globalisasi telah membuka kesempatan luas pada perjumpaan dan percakapan manusia dari berbagai wilayah. Globalisasi juga menghasilkan organisasi beragam yang membuat kita tidak dapat menghindarinya, melainkan beradaptasi dan berkolaborasi terhadap keberagaman itu sendiri. Sebagai salah satu dampak dari globalisasi, kini dunia tengah berhadapan dengan Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan integrasi kuat antara dunia digital dengan produksi industri. 

Pendidikan pun menjadi salah satu ranah yang  terkena dampak global dan kemajuan revolusi ini. Guru dan siswa dituntut bukan lagi sekadar tahu dan fasih dalam pengetahuan, namun juga mampu mengintegerasikan pengetahuan, kemajuan digital, serta pengembangan karakter yang dapat membangun kehidupan. Pendidikan juga harus membuka mata pada urgensi keberagaman budaya dan organisasi yang akan dijumpai oleh siswa menengah atas (SMA) setelah mereka lulus.

Tentu ketika kita berbicara keragaman budaya, bukan semata mengarah pada artefak seperti baju adat, rumah adat, jenis makan hingga tarian tradisional. Lebih dari itu, menurut Roosseau dengan menggunakan model sebuah bawang untuk menggambarkan kebudayaan, ia menjelaskan lapisan paling luar menerangkan tentang elemen budaya yang mudah sekali berubah atau yang biasa kita kenal dengan produk-produk artefak. Lapisan tengah menggambarkan values/norma sebagai hasil dari filosofis yang dipegang dan lapisan inti memuat filosofi secara implisit yang mengandung banyak makna. Singkatnya, Roosseau menerangkan bahwa budaya adalah sebuah keyakinan dan filosofis ideal yang menggerakan perilaku manusia (Roosseau, 1995) .

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa sejak SD hingga SMA siswa di Indonesia tidak mengalami kehidupan multikultur, namun jika kita melihat pada proses dan tuntutan global yang pesat, pertemuan antar budaya dengan negara asing tidaklah terhindarkan, apalagi di dunia kerja. Indonesia sendiri menjadi satu negara yang memiliki daya pikat kuat oleh pekerja asing. Hal ini berimbas semakin besarnya pekerja asing yang datang dan bekerja sama dengan Indonesia.

Di samping itu, menurut Carol Olsby, seorang konsultan sumber daya manusia mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan masa kini tengah mencari sumber daya manusia (karyawan) yang memiliki pengalaman dan keterampilan dalam komunikasi antar budaya (Collier). Pengalaman dan keterampilan ini memberi profit yang besar bagi perusahaan. Artinya, di dunia yang semakin maju, keterampilan komunikasi antar budaya memberi dampak besar untuk memajukan sebuah bangsa.

Maka menyikapi hal ini, salah satu alternatif yang saya usulkan adalah program peningkatan jumlah siswa lulusan SMA di Indonesia untuk melanjutkan pendidikan di universitas terkemuka dan berkualitas di luar negeri.

Menempuh proses pendidikan di luar negeri memiliki sejumlah manfaat di antaranya adalah memperoleh pengetahuan dan pengalaman internasional, menjadikan individu lebih mandiri, mendapatkan bidang studi yang lebih spesifik untuk kebutuhan industri, memperoleh manfaat belajar yang lebih berfokus pada praktik dan riset, fasih berbahasa asing, dan lebih dari itu individu dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi lintas budaya dan negara, sehingga memperlengkapi individu untuk berkolaborasi dalam skala internasional (SUN Education Group, 2020).

Indonesia kini memang menempati posisi ke 22 di dunia yang mengirimkan mahasiswa belajar ke luar negeri, meski demikian Indonesia masih dikalahkan oleh Malaysia , India dan Vietnam yang lebih banyak mengirimkan pelajarnya ke luar negeri. SMA X  yang menjadi tempat saya bekerja misalkan, memiliki data sebagai berikut; tiga tahun terakhir (2018-2020) tercatat siswa yang melanjutkan pendidikan ke luar negeri hanya berkisar 2-4.5 % (2-9 siswa) dari rata-rata jumlah siswa keseluruhan per angkatan yaitu 178-210 siswa. 

Padahal menurut hemat saya, SMA X dengan sekolah basis ilmu dan karakter yang kuat dapat mendorong dan mengirimkan siswa-siswi lebih banyak melanjutkan pendidikan tinggi di luar negeri.  Sejalan dengan itu, Totok Suprayitno, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud RI menyuarakan hal yang serupa, "bahwa tantangan pendidikan siswa di abad 21 adalah membekali siswa dengan beragam keterampilan di antaranya adalah critical thingking, creativity, collaboration, dan communication." (Harususilo, 2019)Untuk menjawab hal itu, Totok mendukung agar semakin banyak siswa yang berani menempuh proses pendidikan di luar negeri.

  • Intercultural Competence

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun