Mohon tunggu...
Siska Febriyani
Siska Febriyani Mohon Tunggu... Guru - Seorang Ibu dan Guru yang rindu mengasuh, mendidik, merawat dan menginspirasi setiap orang yang dijumpai.

* Tokoh Favorit : St. Theresia, Malala Youzafzai, dan Andar Ismail * Menghidupi hidup dengan kebaikan dan keramah tamahan. * Isteri, Ibu, Guru, Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengembangkan Intercultural Competence guna Membangun Indonesia Melalui Pengiriman Siswa Belajar ke Luar Negeri

14 Januari 2021   23:30 Diperbarui: 20 Januari 2021   17:09 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

A. Pengertian dan Pentingnya Intercultural Competence

Melihat kemajuan yang besar dari globalisasi, maka dapat dikatakan bahwa kemampuan komunikasi antarbudaya pun benar-benar harus diperhatikan dan ditingkatkan.  Kompetensi dipahami sebagai sebuah kecakapan atau kemampuan. Individu yang kompeten dalam komunikasi artinya ia dapat berkomunikasi secara efektif dengan orang lain.

 Intercultural Competence adalah kemampuan untuk mengomunikasikan secara efektif dan tepat dalam situasi antarbudaya yang didasarkan pada pengetahuan, keterampilan, dan perilaku (Deardoff, 2009). Alexander Thomas mengungkapkan kecakapan antarbudaya bukan berhenti pada pengetahuan/ranah kognitif, melainkan ia harus berwujud pada keterampilan. Hofstede pun menerangkan hal serupa yaitu, agar seseorang dapat mahir dalam berkomunikasi antarbudaya , ia harus melalui tiga tahapan, yaitu awareness, knowledge, dan skills (Hofstede, 2001). Dalam penelitian yang lebih mutakhir, banyak pakar mengklasifikasikan kompetensi antarbudaya menjadi dimensi, yaitu afektif, kognitif dan perilaku (Fritz dan Graf, 2005).

Chen dan Starosta (2008) menawarkan sebuah model kompetensi komunikasi antarbudaya. Model ini bertujuan untuk meningkat kemampuan interaksi dalam memahami, menghargai, mentoleransi, dan mengintegrasikan perbedaan budaya, sehingga setiap individu siap menjadi menjadi anggota masyarakat secara global. 

Model yang dikembangkan Chen dan Starosta dapat kita lihat dalam tiga persektif berikut; (a) affective atau sensitivitas antarbudaya; (b) cognitive atau kesadaran antarbudaya; dan (c) behavioral atau kecakapan antarbudaya. Ketiga perspektif ini akan membentuk integrasi holistik, sehingga seseorang tidak lagi menjadi gagap melainkan mampu bersinergi dengan orang yang berasal dari budaya dan negara asing di ranah global.

The affective process (intercultural sensitivity) yang meliputi konsep diri adalah sebuah cara seseorang memandang dirinya. Individu dapat melihat, apakah ia memiliki pemikiran terbuka pada budaya lain, tidak berprasangka buruk, dan social relaxation sebagai kemampuan untuk mengontrol kecemasan emosi ketika berkomunikasi antarbudaya. 

Kedua,  The cognitive process (intercultural awareness), meliputi self awareness  (kesadaran diri sendiri) dan cultural awareness (kesadaran budaya). Ketiga, The Behavioral Process: Intercultural Adroitness (Communication Skills) meliputi; kemampuan untuk menggunakan bahasa orang lain secara tepat, appropriate self-disclosure adalah pengungkapan diri yang layak dalam konteks yang dijumpai, behavioral flexibility adalah kemampuan untuk memilih perilaku yang layak dalam konteks dan situasi yang berbeda, interaction management merupakan kemampuan untuk berbicara dalam percakapan dan untuk memulai dan menghentikan pembicaraan secara layak, serta social skills (empati).

Melihat pemahaman Intercultural Competence dan perspektif di atas, maka tidak berlebihan jika saya menuliskan bahwa kecakapan ini penting dibangun sedini mungkin sebagai bekal generasi Indonesia untuk berjumpa, berkolaborasi, serta berintegrasi dengan orang-orang dari belahan dunia.

  • Culture Learning
  • B. Membangun dan Meningkatkan Cultural Learning melalui Perjumpaan Langsung

Pembelajaran berbasis antarbudaya menjadi sangat penting sebagai respon pesatnya perkembangan globalisasi. Memperlengkapi generasi Indonesia agar  tidak gagap dan memiliki keterampilan komunikasi antarbudaya dapat dilakukan salah satunya dengan cara mengirimkan siswa SMA untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. 

Seperti yang saya uraikan di atas, minat siswa Indonesia melanjutkan pendidikan ke luar negeri memang meningkat setiap tahunnya, namun peringkat Indonesia dalam mengirimkan siswa ke luar negeri masih di bawah Malaysia, India dan Vietnam. Tentu ada penyebab yang menarik untuk dikaji, selain permasalahan biaya pendidikan dan biaya hidup selama berkuliah. Permasalahan lainnya yang tidak kalah penting adalah ketidaksiapan siswa Indonesia untuk berjumpa, berelasi hingga berintegrasi dengan orang-orang dari negara dan budaya lain.

Seperti yang diungkapkan Chen dan Starosta, kemampuan untuk berelasi, berkomunikasi dan mampu berintegritas antar budaya dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu affective, cognitive, dan behavioral. Seseorang untuk dapat sampai pada sensitivitas dan perilaku cakap antar budaya tidak cukup hanya mempelajarinya dari sumber literatur tertulis mau pun digital. Ia perlu berjumpa langsung pada kondisi dan konteks perbedaan budaya tersebut. Apa yang saya maksud? Secara sengaja saya akan menguraikan kisah singkat kemajuan pendidikan di negara maju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun