Kadang, saya pun membayangkan andai saya seperti mereka, yang bisa saja khilaf melakukan salah dan dosa, hingga berujung perkara hukum.
Ada sebab dan musabab, hingga akibat yang harus ditanggung karena perbuatan yang kurang baik dan merugikan orang lain. Hal itu juga meruntuhkan kepercayaan orang kepada diri sendiri.
Belum lagi dampak pada keluarga dan masyarakat akibat ulah yang kita perbuat. Ya, andai saja kita seperti mereka.
Justru dari pengalaman orang-orang tersebut, kita banyak belajar, bahwa berbuat baik saja sering dinyinyirin, diocehin, dijulidin. Lah, apalagi berbuat kurang nyaman hingga perbuatan dengan sebutan keji dan nista? Tambah dirisak habis-habisan! Hujatan hadir bertubi-tubi.
Apakah kita telah kehilangan kata maaf dan memaafkan? Yang hanya tersedia saat lebaran, namun masih berlanjut dendam di hari kemudian?
Apakah ruang pengampunan bagi kesalahan seseorang telah hilang dari hati dan pikiran kita?
Kemanakah sirnanya, nurani embun pagi?
Yang biasanya ramah, kini membakar hati?
Apakah, bila terlanjur salah?
Akan tetap dianggap salah?
Tak ada waktu lagi benahi diri?
Tak ada tempat lagi untuk kembali?
Kembali lirik lagu itu terngiang. Saya terpekur. Jika terlanjur salah, apakah tetap dianggap salah? Sedangkan segala proses hukuman telah ditunaikan.Â
Entahlah, apakah hujatan orang yang masih melekat, akan terkikis satu per satu dari diri yang telah berlumpur dosa dan kesalahan?
Hanya taubat yang in syaa Allah menjadi jalan membersihkan diri. Bersungguh-sungguh memperbaiki diri dan tak mengulang kelalaian dan kesalahan yang sama.
Memang, keluarga dan masyarakat belum tentu mau menerima kehadiran pendosa di tengah kita. Bibir masih saja mencibir, berlanjut dengan omongan nyinyir dan ingin menghukum, menghakimi, lagi dan lagi.
Kembali dari keterasingan ke bumi beradab
Ternyata lebih menyakitkan dari derita panjang
Tuhan, bimbinglah batin ini agar tak gelap mata
Dan sampaikanlah rasa inginku kembali bersatu
***