Mohon tunggu...
Hasna A Fadhilah
Hasna A Fadhilah Mohon Tunggu... Administrasi - Tim rebahan

Saya (moody) writer. Disini untuk menuangkan unek-unek biar otak tidak lagi sumpek.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Ciptagelar, Corona, dan Robert Heinlein

16 Maret 2020   15:09 Diperbarui: 16 Maret 2020   15:14 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Dua tahun lalu, saya berkesempatan mengunjungi Kasepuhan Ciptagelar yang terletak di Cisolok, Sukabumi. Bagi yang belum tahu dan belum pernah kesana, Kasepuhan Ciptagelar ini adalah sebuah desa adat yang hingga kini masih melestarikan nilai-nilai tradisional yang mereka pegang.

Hampir sama seperti Baduy, hanya saja mereka jauh lebih terbuka pada perkembangan teknologi. Bahkan mereka juga punya channel TV sendiri! Sebelum kesana, saya sudah banyak diwanti-wanti oleh kolega senior: persiapkan bekal, kalau bisa ajak teman, dan lain-lain.

Sayangnya hingga hari H, kawan yang saya ajak ada jadwal lain. Ya sudah, saya akhirnya memutuskan untuk pergi kesana sendiri.

Saya pikir awalnya mudah, toh bukan pertama kali naik gunung. Tapi ternyata baru separuh jalan, hujan gerimis. Untunglah, sebentar kemudian perkampungan mulai tampak sebelum maghrib menjelang.

Ketika tiba, saya diajak bercengkrama dengan seluruh anggota keluarga dan beberapa tetangga sekitar yang datang berkunjung. Ceritanya, besok akan ada upacara tanam padi, sehingga semalam suntuk ini, tiap pondok/rumah penduduk akan menggelar semacam 'pagelaran'.  Betul, tak lama habis isya, suara gamelan dan alat musik tradisional bersahut-sahutan.

Di satu pondok lainnya, beberapa penari bergerak mengikuti irama. Gelap temaram malam menjadi tak begitu terasa. Sesekali juga lolongan anjing ikut memecah keramaian.

Sebagai pendatang yang hanya tahu sedikit cerita Ciptagelar dari kisah teman dan hasil browsing internet, kesempatan malam itu saya manfaatkan benar untuk menggali lebih jauh falsafah hidup mereka, dan bagaimana mereka tetap kekeuh bertahan dengan nilai-nilai tradisional tanpa menggantungkan sekalipun pada pemerintah.

Bahkan untuk jalan umum akses ke desa. Mereka swadaya membangun sendiri dari batu-batu alam. Hasilnya? Ya tentu tidak semulus aspal. Tapi, paling tidak bisa dilewati.

Melihat kondisi ini, saya sempat menyarankan untuk mereka komplain saja kepada pemerintah. Atau jika perlu saya bisa melaporkannya pemda setempat.

Tapi, justru jawaban dari perwakilan adat membuat saya terperangah, kalau tidak salah redaksinya kira-kira seperti ini, "nggak perlu mbak, kalau waktunya datang, nanti akan ada perbaikan kok. Kami sudah berusaha dan beberapa kali perwakilan desa juga datang. Tidak perlu ngotot. Nanti kalau ada takdirnya, tentu akan ada perbaikan jalan. Kami percaya itu."

Secara ringkas, berbaik sangka, tentu perlu dibarengi dengan ikhtiar. Kita seringkali hanya ikhtiar ngotot, tapi kewajiban kepada Gusti Allah malah dilupakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun